Selasa, 23 Desember 2008

Doa Awal Tahun

Doa awal tahun


Allah SWT berselawat ke atas penghulu kami Muhammad SAW, ahli keluarga dan sahabat-sahabat baginda dan kesejahteraan ke atas mereka.

Wahai Tuhan, Engkaulah yang kekal abadi, yang qadim. yang awal dan ke atas kelebihanMu yang besar dan kemurahanMu yang melimpah dan ini adalah tahun baru yang telah muncul di hadapan kami. Kami memohon pemeliharaan dariMu di sepanjang tahun ini dari syaitan dan pembantu-pembantunya dan tentera-tenteranya dan juga pertolongan terhadap diri yang diperintahkan melakukan kejahatan dan usaha yang mendekatkanku kepadaMu Wahai Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Mulia.

Wahai Tuhan Yang Maha pengasih dari mereka yang mengasihi dan Allah berselawat ke atas penghulu kami Muhammad. Nabi yang ummi dan ke atas ahli keluarga dan sahabat-sahabatnya dan kesejahteraan ke atas mereka.

Doa akhir tahun

Allah SWT berselawat ke atas penghulu kami Muhammad SAW, ahli keluarga dan sahabat-sahabat baginda dan kesejahteraan ke atas mereka.

Wahai Tuhan, apa yang telah aku lakukan dalam tahun ini daripada perkara-perkara yang Engkau tegah daripada aku melakukannya dan aku belum bertaubat daripadanya. Sedangkan Engkau tidak redha dan tidak melupakannya. Dan aku telah melakukannya di dalam keadaan di mana Engkau berupaya untuk menghukumku, tetapi Engkau mengilhamkanku dengan taubat selepas keberanianku melakukan dosa-dosa itu semuanya. Sesungguhnya aku memohon keampunanMu, maka ampunilah aku. Dan tidaklah aku melakukan yang demikian daripada apa yang Engkau redhainya dan Engkau menjanjikanku dengan pahala atas yang sedemikian itu. Maka aku memohon kepadaMu.

Wahai Tuhan! Wahai yang Maha Pemurah! Wahai Yang Maha Agung dan wahai Yang Maha Mulia agar Engkau menerima taubat itu dariku dan janganlah Engkau menghampakan harapanku kepadaMu Wahai Yang Maha Pemurah. Dan Allah berselawat ke atas penghulu kami Muhammad, ke atas ahli keluarga dan sahabat-sahabatnya dan mengurniakan kesejahteraan ke atas mereka.

Read More...

Senin, 08 Desember 2008

Pandanglah Saudaramu


Saudaraku,
Perjalanan ini memang panjang dan melelahkan. Terkadang, mungkin kita terengah-engah kehabisan nafas untuk terus menapakkan kaki hingga sampai ke tujuan. Terkadang, mungkin kita terseok-seok merasa tak kuat dan hampir tertinggal oleh derap serta gerak para kafilah da'wah itu. Terkadang, mungkin kita tersandung dan terjatuh oleh aral dan kesulitan perjalanan.


Saudaraku yang dirahmati Allah,
Tak satupun di antara kita yang tak pernah mengalami suasana perasaan seperti itu. Hampir semua kita, sekokoh apapun kepribadiannya, pasti akan mengalami situasi lemah dan merasa kekurangan tenaga. Memang demikianlah jiwa manusia, seperti yang pernah disabdakan Rasulullah SAW dalam salah satu hadits shahih, bahwa keimanan itu ada kalanya bertambah dan berkurang. Ia bertambah karena amal shalih, dan berkurang karena kemaksiatan.
Tapi ingat saudaraku,
Selama kita berusaha berada dalam kafilah ini, insya Allah kelemahan dan kekurangan kita tidak akan mampu menjatuhkan kita. Selama kita tetap komitmen bergerak dalam orbit komunitas jama'ah da'wah, insya Allah kita menerima banyak keistimewaan dan barakah. Selama kita tetap memelihara hubungan baik dengan kafilah da'wah, insya Allah semua kelalaian dan penyimpangan kita kemungkinan besar akan dapat diluruskan dan kembali kepada jalan yang benar. Kesimpulannya, kita baru akan jatuh terpuruk, tenggelam, dan terseret oleh arus yang lain, tatkala kita berada di luar arus atau orbit jama'ah da'wah.
Salah satu barakah hidup bersama orang-orang sholih adalah, mereka selalu mampu memberi nasihat dan pencerahan hati bagi orang yang duduk bersamanya. "Sebaik-baik sahabat adalah, orang yang bila engkau melihatnya, menjadi kamu mengingat Allah", Begitulah sabda Rasulullah SAW. Renungkanlah perkataan Rasulullah tersebut. Sekedar melihat seorang teman yang shalih akan memberi cahaya keshalihan yang berbeda dalam diri orang yang melihatnya.
Saudaraku para kafilah da'wah,
Melihat orang lain yang lebih tinggi kadar ibadah, zhuhud, jihad, dan ilmunya, pasti akan memberi pengaruh yang besar dalam diri kita. Merekalah yang akan mempengaruhi zhuhud kita, ibadah dan jihad kita. Karenanya, para sahabat generasi pertama disebut sebagai generasi istimewa, antara lain lantaran mereka senantiasa hidup bersama Rasululluh SAW.
Ada orang salaf mengatakan, "Jika aku merasakan kekesatan hati, maka aku segera pergi dan melihat wajah Muhammad bin Wasi'" (Nuzhatul Fudhola, 1/526). Ibnul Mubarak juga mengatakan, "Jika aku melihat wajah Fudhail bin Iyadh, aku biasanya menangis".
Itulah salah satu prinsip yang dipegang oleh orang-orang shalih terdahulu. Bagi mereka, bertemu dengan saudaranya adalah bekal spirit yang dapat membekali kebangkitan ruhani mereka. Dan memang demikianlah yang terjadi.
Simaklah kisah yang disampaikan oleh Ibnul Qosim, salah satu ulama fiqih di Mesir yang wafat tahun 191 H. "Aku pernah mendatangi Imam Malik sebelum waktu fajar. Aku tanyakan dia tentang dua masalah, tiga masalah, empat masalah, dan saya benar-benar melihatnya dalam suasana lapang. Kemudian aku mendatanginya hampir setiap waktu sahur. Terkadang karena lelah, mataku terkatuk dan aku tertidur. Ketika Imam Malik keluar Mesjid aku tidak mengetahuinya. Kemudian aku dibangunkan oleh pembantunya sambil mengatakan, "Gurumu tidak tertidur seperti kamu. Padahal saat ini usianya telah mencapai 49 tahun. Setahuku ia nyaris tidak shalat subuh dengan wudhu yang dipakai untuk shalat Isya'.". (Tartibul Madarik, 3/250)."
Saudaraku,
Apa yang terlintas dan terbetik dalam jiwa kita tatkala mendengar kisah di atas? Subhanallah. Riwayat-riwayat seperti itu banyak disampaikan dalam atsar, sehingga sulit bagi kita untuk tidak menerimanya sebagai suatu kebenaran. Disebutkan di sana, wudhu' Imam Malik tidak batal sepanjang malam, dalam rentang waktu hampir separuh abad. Kondisi seperti ini biasa dilakukan pada malam-malam musim panas. Artinya, Imam Malik rela untuk menyedikitkan makan dan minum sepanjang hari sehingga ia mampu memelihara wudhunya.
Salah satu salafus shalih bercerita,"Aku pernah bangun pada waktu sahur untuk mempelajari Al Qur'an kepada Ibnu Akhram, seorang ulama Damaskus. Tapi ternyata kehadiranku telah didahului oleh sekitar 30 orang. Dan aku belum memperoleh giliran sampai datang waktu ashar" (Nuzhatul Fudhola, 2/1145). Kebiasaan waktu itu, satu orang diberi giliran untuk mempelajari Al Qur'an sekitar 2 halaman. Lihatlah terhadap kesabarannya yang luar biasa untuk menanti giliran membaca 2 halaman Al Qur'an dari sebelum fajar hingga waktu ashar. Yang lebih mengherankan lagi, kedatangannya sebelum fajar telah didahului oleh kurang lebih 30 orang.
Saudaraku,
Membaca dan menelaah peri hidup orang-orang shalih juga mempu membangkitkan semangat baru dalam diri kita. Bisa dikatakan, membaca dan menelaah peri hidup mereka, hampir sama dengan kita menziarahi dan berhadapan dengan mereka sehingga kitapun menerima barokah dari Allah karenanya.
Karenanya Imam Abdul Jauzi Ra mengatakan, "Aku berlindung kepada Allah dari peri hidup orang yang tidak punya cita-cita tinggi hingga bisa diteladani oleh orang lain yang tidak punya sikap wara' yang bisa ditiru oleh orang yang ingin berzuhud. Demi Allah, hendaklah kalian mencermati peri laku suatu kaum, mendalami sifat dan berita tentang mereka. Karena dengan memperbanyak meneliti kitab-kitab mereka adalah sama dengan melihat mereka. Bila engkau mengatakan telah mendalami 20.000 jilid buku, berarti engkau telah melihat mereka melalui kajian engkau terhadap tingkat semangat mereka, kepandaian mereka, ibadah mereka, keistimewaan ilmu yang tidak pernah diketahui oleh orang yang membacanya........" (Qimatuz zaman ‘indal ‘ulama: 31).
Saudaraku,
Seringlah mengunjungi saudaramu dalam jalan ini. Jangan jauhkan mereka dari hati. Sering-seringlah berkunjung, bertatap muka, dan memandang wajah mereka. Di sanalah engkau akan menemui berkah hidup berjama'ah yang dapat memberi bekal bagi jiwa agar kita dapat melanjutkan perjalanan ini sampai tujuan terakhir ............ Ridho Allah dan Syurga-Nya. (M.Nursani)

Read More...

Kamis, 27 November 2008

Kelezatan Tak Ada Bandingnya


Semoga kita tak pernah putus berdoa agar rahmnat Allah menaungi kebersamaan kita.
Saudaraku...
Manusia, tetap manusia. Bukan malaikat. Rasulullah SAW., sebagai hamba Allah teladan, juga manusia. Ia tetap memiliki tabiat kemanuisaan. Karena, andai sosok teladan untuk manusia itu bukan manusia, sudah tentu tak ada manusia yang bisa mengikutinya. Dan artinya ia tak mungkin dijadikan teladan.
Karena itulah Rasulullah mengucapkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah manusia. Aku marah sebgaimana manusia marah. Maka siapa saja dari kaum muslimin yang merasa telah aku sakiti, aku caci, aku laknat dan aku cambuk, jadikanlah hal itu sebagai doa dan pembersih yang akan mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Meski tetap dengan kemanusiaannya, Rasul tetap memiliki predikat Al-Ma’shum --yang terpelihara dari dosa-- karena keimanannya yang tinggi dan Allah SWT., merahmatinya dengan selalu meluruskannya dari kesalahan. Iman sajalah yang membuat Rasulullah memiliki kemauan baja, cita-cita tinggi dan mampu terhindar dari bisikan syetan melalui hawa nafsu.
Saudaraku, ketahuilah...
Syetan adalah pemangsa orang yang lemah semangat, tidak percaya diri, pesimistik, dan tidak kuat kemauannya. Orang-orang seperti itu mudah terjebak dengan bisikan syetan. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Jika syetan melihat orang memiliki kemauan yang lemah, cita-cita yang rendah, condong mengikuti hawa nafsu, maka syetan sangat menginginkannya, membantingnya dan mengekangnya dengan kekangan hawa nafsu dan kemudian mengendalikannya kearah mana yang ia kehendaki.
Tapi, jangan juga menganggap kita menaklukkan hawa nafsu karena kita merasa memiliki semangat tinggi, optimistik, sangat percaya diri, serta kuat kemauan. Karena sebenarnya perasaan seperti itu akan membuka celah syetan untuk menyelinap lalu menguasai hati. Ibnul Qayyim mengistilahkan hal seperti ini dengan “perampasan dan pencurian” syetan. “Jika syetan meraa orang itu memiliki kemauan yang teguh, jiwa yang mulia dan cita-cita yang tinggi, maka ia tidak menginginkan orang tersebut kecuali dengan jalan perampasan dan pencurian,” begitu urai Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Coba perhatikan perkataan Ali radiyallahu ’anhu. Menurutnya, ada empat momen kebaikan tertentu, yang paling berat dilakukan. Yakni, memaafkan ketika marah, berderma ketika pailit, menjaga diri dari dosa (iffah) ketika sendirian, dan menyampaikan kebenaran pada orang yang ditakuti atau diharapkan.”
Saudaraku...
Renungkanlah momen-momen seperti itu sebenarnya yang sering menjadi celah rawan perampasan dan pencurian syetan. Sulit sekali memberi maaf ketika justru amarah seseorang meletup dan dalam kondisi mampu melampiaskannya... Sangat sulit sekali memberi, apapun, yang kita sendiri membutuhkannya... Sangat sulit sekali memelihara diri dari dosa, bila kesempatan untuk melakukannya berulangkali terbuka lebar didepan mata kita. Apalagi, kita tahu tak ada orang lain yang melihat tingkah kita saat itu... Seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran kepada orang yang kita takuti? Saudaraku, pada momen-momen seperti itulah kita manusia seringkali tergelincir.
Ada satu kata yang sangat sederhana untuk mengatasinya. Keikhlasan, itulah kuncinya. Keikhlasan membawa seseorang mudah untuk memaafkan dikala marah. Ikhlas juga yang menjadikan seseorang ringan memberi meski ia membutuhkan. Ikhlas, yang membuat seseorang tak memandang situasi dalam beramal dan menjauhi maksiat, meski tak seorang pun melihat. Keikhlasan juga yang membuat orang tak memandang resiko apapun dalam menyampaikan kebenaran.
Berkat ikhlas, Rasulullah SAW tercatat berhasil melewati momen-momen yang dianggap paling sulit tersebut. Rasul adalah sosok yang paling mudah memberi maaf, paling banyak memberi laksana angin, paling terpelihara dari penyimpangan, paling berani menyampaikan kebenaran kepada siapa pun. Benarlah ucapan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Barangsiapa yang telah mengintip pahala (yang dituai karena keikhlasan) , niscaya jadi ringanlah tugas yang berat itu.” (Ar-Raqa-iq, Muhammad Ahmad Rasyid)
Saudaraku...
Lihatlah wujud ketulusan dari keikhlasan lain yang dimiliki Ibnu Abas. “Bila aku mendengar cerita tentang hujan yang turun disuatu daerah, maka aku akan gembira, meskipun aku didaerah itu tidak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca suatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin kaum Muslimin semua memahami ayat itu seperti aku ketahui seperti apa yang aku ketahui.” Orang seperti Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi informasi yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingannya. Lebih dalam lagi keikhlasan yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui penyebarnya....”
Karena itulah Saudaraku...
Da’i dan mujahid Islam terkenal, Imam Hasan Al-Bana mengatakan, “Ikhlas itu kunci keberhasilan.” Menurut Al-Bana, para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali karena kekuatan iman, kebersihan hati dan keikhlasan mereka. “Bila kalian sudah memiliki tiga karakter tersebut, maka ketika engkau berpikir maka Allah akan mengilhamimu dengan petunjuk dan bimbingan. Jika engkau beramal, maka Allah akan mendukungmu dengan kemampuan dan keberhasilan...” Al-Bana begitu serius memandang masalah ini, sehingga setelah kalimat tadi ia mengatakan, “.. Tapi bila ada diantara kalian yang hatinya sakit, cita-citanya lumpuh, diselimuti oleh sikap egois (tanda tidak ikhlas), masa lalunyapun penuh masalah, maka keluarkan ia dari barisanmu! Karena orang seperti itulah yang akan menghalangi rahmat dan taufiq Allah.” (A-awa’iq yang Muhammad Ahmad Rasyid)
Hasan al-Bana tidak berlebihan. Karena orang yang tidak ikhlas umumnya tidak selamat dalam perjalanan, “Hanya orang yang tidak ikhlas yang akan tergelincir.” (Shaidul Khatir, 355)
Saudaraku...
Dengan keikhlasan, kita jadi tak mudah diperdaya oleh nafsu. Dan itulah nikmat yang hanya dirasakan para mukhlisin. Seperti yang tertuang dalam nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa mengutamakan kelezatan iffah (menjaga diri dari perbuatan durhaka), lebih lezat daripada kelezatan maksiat. Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Rasa sakit yang ditimbulkan oleh mengikuti hawa nafsu lebih dahsyat daripada kelezatan yang dirasakan seorang karena mempertaruhkan hawa nafsu.”
Sampai akhirnya... kita benar-benar meresapi perkataan salafushalih yang dikutip Syekh Muhammad Rasyid dalam Al-Awa’iq, “Berusaha sekuat tenaga menekan hawa nafsu itu adalah kelezatan. Kelezatan diatas kelezatan.”[M. Nursani]

Read More...

Kamis, 21 Agustus 2008

Membawa Kekasih ke Surga



“Ukhty, aku punya harapan, kelak anak-anakku penggenggam dunia. Namun hati mereka tetap hanya milik Allah dan rasulNya, karena itu aku butuh seorang ustadzah yang membimbing anak-anak dan menjadikan rumahku sebagai madrasah peradaban. Apakah anty siap menjadi ustadzah di rumahku dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”


Ini sepenggal ungkapan tatkala seoarang ikhwan mengkhitbah seorang akhwat. Tatkala ingin menggenapkan sayapnya yang cuma sebelah agar bisa terbang.
Sekarang, saat kita sudah punya sayap yang lengkap, masihkan kita ingin mengajaknya terbang? Begitulah seharusnya. Kita harus konsisten dengan harapan besar tatkala menikahinya. Menggapai ridha Allah, mengantarkan dan membawanya terbang hingga di surga. Ya, kita harus membawanya. Ini bukti kesungguhan dan cinta kita pada bidadari hati kita itu.
Ini bukan romantisme. Tapi harapan. Ya, harapan. Harapan dan tekad kesungguhan setelah mengambil keputusan besar dalam hidup, menikah. Harapan untuk membawa orang-orang yang kita cintai hidup bersama di surga. Bersama, reuni di sana. Benar, setelah ikrar nikah kita ucapkan, kita punya harapan dan kewajiban, dan sebesar-besar harapan itu adalah menjadikan bidadari hati kita sebagai kekasih dunia akhirat. Tidak sebatas menjadikannya istri di dunia semata. Lebih dari itu, kita berharap akan menjadikannya bidadari tercantik di antara bidadari-bidadari surga, yang karenanya bidadari surga cerburu melihat istri kita.
Ini juga bukan romantisme. Tapi harapan. Tekat yang kuat. Tekad untuk mempersembahkan rumah indah di surga untuk istri dan keluarga kita. Dan sekarang kita harus mulai men'desain’ rumah kita itu. Rumah di surga. Ya, sekarang. Selagi kita masih diberi kesempatan beramal di muka bumi ini.

Qiyamul Lail Satu Pintunya
“Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu menunaian shalat. Dia bangunkan istrinya, jika istrinya enggan, maka ia percikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang istri yang bangun malam untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka ia percikan air ke wajahnya.” (H.R Abu Dawud, Nasa’i Ibnu Majah)
Ini bukan romantisme. Tapi, harapan. betapa indahnya jika hadits itu benar-benar kita amalkan. Ketika suami terbangun, ia bangunkan sang istri dengan mengatakan, “Bidadariku, apakah engkau ingin tertinggal sementara aku ingin mengajakmu ke surga dengan qiyamullail ini. Bangun bidadariku, aku ingin engkau turus membersamaiku selamanya. Bersamaku, tidak hanya di dunia ini, tapi juga di sana, di negeri abadi itu. Bangun dinda, mari sholat.”
Atau sebaliknya, jika istri terbangun dia berkata, “Kekasihku, tidakkah kau ingin membawaku ke surga dengan qiyamul lailmu. Bukankah engkau ingin menjadikanku sebagai bidadari dunia akhirat, bangun suamiku. Aku rindu bertemu denganmu di surga kelak.”
Ehm. Ini bukan romantisme saudaraku. Bukan. Sungguh, ini harapan. Indah. Bahagia.
Ini juga sebuah harapan. Tentang anak-anak kita kelak. Kita punya mimpi. Mimpi menjadikan mereka menjadi mutiara-mutiara hati yang kelak menggetarkan dunia. Bertebaran di berbagai belahan bumi dengan menggemakan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Ya, itu artinya kita punya dua tanggungjawab besar; menjadikan istri sebagai bidadari; dan 'melahirkan' jundi-jundi penegak tauhid
Sungguh, kita berharap dari rahim mulia istri kita terlahir pejuang-pejuang dakwah, yang karena sentuhan lembut tangan bidadari hati kita, mereka menjadi kuat dan kokoh. Dan rumah kita menjadi madrasah peradaban.
Ini bukan romatisme. Tapi harapan.

Read More...

Kamis, 14 Agustus 2008

Antara Mata dan Hati


…"Hati adalah raja, dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya.".. (Ibnul Qoyyim)

Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan prilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemilik nya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh – sungguh jatuh ke dalam jurang ". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin. Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya`ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."
Hampir sama dengan bunyi sya`ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan sholat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."


Semoga Allah memberi naungan barakah-Nya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara matanya. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahayabesar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan salang mencela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim.
Simak juga dialog iamjiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhotul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "Kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saaat saja. Kau lemparkan kerlingan mata ke taman dari kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah. "Hendaklah mereka menahan pandangannnya " Kau salahi sabda Rasulullah saw , "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." ( HR. Ahmad).
Tapi mata berkata kepada hati, "Kau dzalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda , "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati" ( HR. Bukhari dan Muslim).
Simaklah perkataan Ibnul Qayyim yang lain :"Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugrahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakakn dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu. Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepadaNYA, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNYA. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". ( QS. Al-Hajj:46).
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Cabo perhatikan tingkat – tingkat manfaat yang diuraikan olelh Imam Ibnul Qayyim dalam Aljawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa'i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunai dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, nenahan pandangan juga bisa mengungatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaitan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berfikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNYA tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur",
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain. Kedipan mata apalagi kecendrungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah SWT, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati" ( QS. Al Mukmin: 19) itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntunh suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ' Ilmullah (pengetahuan Allah). Pemeliharaan mata dan hati, sangat identik dengan tingkat keimanan seseorang.
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada kiamat ada sekelompok orang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak. Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan orang itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah SWT tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang bertebangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperti itu karena mereka adalah sekelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama orang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiridan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah. ( HR. Ibnu Majjah).
Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah tujuan ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau tidak melihatNYA yakinlah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah SAW (M. Nursani)

Read More...

Rabu, 06 Agustus 2008

Allah Kenalkan Aku dengan Diriku


Di antara ciri-ciri kebahagiaan dan kemenangan seorang hamba adalah: Bila ilmu pengetahuannya bertambah, bertambah pula kerendahan hati dan kasih sayangnya. Setiap bertambah amal-amal shalih yang dilakukannya, bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam menjalankan perintah Allah. Semakin bertambah usianya, semakin berkuranglah ambisi-ambisi keduniaannya. Ketika bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya pada sesama. Jika bertambah tinggi kemampuan dan kedudukannya, bertambahlah kedekatannya pada manusia dan semakin rendah hati pada mereka.



Sebaliknya, ciri-ciri kecelakaan seseorang adalah: Jika bertambah ilmu pengetahuannya, bertambah kesombongannya. Setiap bertambah amalnya, bertambah kebanggaannya pada diri sendiri dan penghinaannya pada orang lain. Bila semakin bertambah kemampuan dan kedudukannya semakin bertambah pula kesombongannya. (Ibnul Qayyim, Al Fawaid)
Saudaraku,
Suasana apa yang terekam dalam jiwa kita saat membaca kalimat-kalimat di atas? Bilakah kita berada dalam daftar orang-orang yang berbahagia dan menang? Atau, celaka? Semoga Allah SWT membimbing hati dan langkah kita untuk tetap memiliki karakter orang-orang yang berbahagia dan menang. Semoga Allah menjauhkan hati dan langkah kita dari karakter orang-orang yang terpedaya oleh ilmu, amal dan kemampuannya. Amiin.
Saudaraku,
Di antara manfaat lain yang bisa kita petik dari petuah Ibnul Qayyim itu adalah, kedalaman ilmunya tentang lintasan dan perasaan-perasaan jiwa. Ibnul Qayyim yang banyak berguru pada Imam Ibnu Taimiyyah itu, berhasil mengenali karakter jiwa kemanusiaannya, sampai ia pun kemudian banyak mengeluarkan nasihat-nasihat yang maknanya sangat dalam dan menyentuh tentang jiwa.

Saudaraku,
Mengenali diri memang penting. “Man arafa nafsahu, arofa Rabbahu,” orang yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Begitu kata Ali radhiallahu anhu. Rasulullah saw juda mengajarkan kita untuk lebih banyak bercermin dan mengevaluasi diri sendiri, ketimbang bercermin dan mengevaluasi orang lain. Orang yang sibuk oleh aib dan kekurangannya, kata Rasulullah lebih beruntung, ketimbang orang yang sibuk dengan kekurangan orang lain.

Dan memang, manfaat menjalani nasihat Rasulullah ini adalah seperti dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk untuk memperbaiki diri daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain.”

Saudaraku,genggam erat-erat tali keimanan kita, Kenalilah diri. Pahami kebiasaannya. Rasakan setiap getarannya. Lalu berhati-hati dan kontrollah kemauan dan kecenderungannya. Waspadai kekurangannya dan manfaatkan kelebihannya. Berdoalah pada Allah agar Ia menyingkapkan ilmu-Nya tentang diri kita. Sebagaimana senandung do’a yang dilantunkan Yusuf bin Asbath, murid Sofyan Ats Tsauri, “Allahumma arrifnii nafsii….” Ya Allah kenalkanlah aku dengan diriku sendiri....(M.Nursani)

Read More...

Selasa, 05 Agustus 2008

Agar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga


Pekerjaan Orang Kuat

Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.



Orang-orang seringkali hanya mengambil bagian tengah dari cinta: emosi. Dalam kehidupan mereka cinta adalah gumpalan perasaan yang romantis dan penuh keindahan. Mereka bahkan mungkin bisa memutuskan untuk mempertahankan suatu penderitaan seringkali karena mereka menikmati romantikanya: hidup di gubuk derita, makan sepiring berdua. Mereka melankolik. Karenanya kehidupan mereka tidak berkembang.

Cinta dalam pengertian yang luas inilah yang menjamin bahwa suatu hubungan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Tidak ada hubungan yang dapat dipertahankan —dalam jangka panjang— jika kita tidak mempunyai suatu gagasan tentang bagaimana membuatnya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kebosanan dalam hubungan suami istri, misalnya, sering terjadi karena keduanya secara personal sama-sama tidak berkembang. Mereka sama-sama mengalami “penyusutan” kualitas kepribadian bersama perjalanan umur. Karenanya mereka sama-sama membosankan.

Jadi cinta adalah sebuah totalitas. Di sana gagasan, emosi dan tindakan bergabung jadi satu kesatuan yang utuh dan bekerja secara bersama-sama bagi kebahagiaan dan kebaikan orang-orang yang kita cintai. Orang-orang dengan kepribadian yang lemah dan lembek tidak dapat mencintai dengan kuat. Para pencinta sejati selalu datang dari orang-orang dengan kepribadian yang kuat dan tangguh.

Mencintai —dengan begitu— adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kepribadian. Maka para pencinta sejati selalu mengembangkan kepribadian mereka secara terus menerus. Sebab hanya dengan begitu mereka dapat mengembangkan kemampuan mereka mencintai. Cinta dan kepribadian adalah dua kata yang tumbuh bersama dan sejajar. Makin kuat kepribadian kita makin mampu kita mencintai dengan kuat. Mengandalkan perasaan saja dalam mencintai hanya akan melahirkan para pembual yang menguasai hanya satu keterampilan: menebar janji.Mereka yang ingin menjadi pencinta sejati harus terlebih dahulu membenahi dan mengembangkan kepribadiannya. Menggagas bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, mempertahankan “keinginan baik” kepada orang yang kita cintai secara konstan, dan terus menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk membahagiakan mereka, hanya mempunyai satu makna: itu pekerjaan orang kuat. Cinta adalah pekerjaan orang kuat. Kalau Rasulullah saw dapat menampung sembilan orang istri dalam jiwanya, itu karena ia dapat menampung sembilan kepribadian dalam kepribadiannya.

Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah kebenaran.
Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan dan memekarkan bunga; Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta,dengan begitu, merupakan dinamika yang bergulir secara sadar diatas latar wadah perasaan kita.

Maka begitulah seharusnya Umar mencintai; menyejukkan, menenangkan, namun jua menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini; menghidupkan....

Umar mungkin akan dekat dengan peristiwa ini; bagaimana calon istri Umar nanti melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, menumbuhkannya, mengembangkannya, menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya kehidupan.

Bila Umar ingin mencintai dengan kuat, maka Umar harus mampu memperhatikan dengan baik, menerima apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawat dan menjaganya dengan sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pencinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan.

Apakah Umar telah mengenal sang calon istri dengan seksama? Apakah Umar udah mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah kecenderungan-kacenderungannya ? Apakah Umar mengenal pola-pola ungkapannya; melalui pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksnya, melalui isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?

Apakah Umar dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah Umar dapat melihat gelombang mimpi-mimpinya, harapan-harapannya? Pengenalan yang baik harus disertai dengan penerimaan yang utuh. Umar harus mampu menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dalam proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau obsesi yang berlebihan terhadap fisik.

Umar tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika Umar dapat menerimanya apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa Umar menyukai kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan itu bukan kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya.

Apakah yang ia harap dari bayi kecil itu? Ketika ia merawatnya, menjaganya dan menumbuhkannya, apakah ia yakin bahwa kelak anak itu membalas kebaikan-kebaikannya? Tidak.

Semua yang ada dalam jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya peluang untuk berubah dan berkembang, dan karenanya ia menyimpan harapan besar dalam hatinya bahwa kelak hari-hari juga lah yang akan menjadikan segalanya lebih baik.

Penerimaan positif itulah yang mengantar kita kepada kerja mencintai selanjutnya; pengembangan. Pada mulanya seorang wanita itu adalah kuncup yang tertutup. Ketika ia memasuki rumah Umar, memasuki wilayah kekuasaan Umar, menjadi istri Umar, menjadi ibu
anak-anak Umar; UMARLAH YANG BERTUGAS MEMBUKA KELOPAK KUNCUP ITU, MENIUPNYA PERLAHAN, AGAR IA MEKAR JADI BUNGA.

Umarlah yang harus menyirami bunga itu dengan air kebapakkan, membuka semua pintu hati anda baginya, gar ia dapat menikmati cahaya matahari yang akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bungu-bunga cinta bersemi, dengan ungkapan AKU CINTA KAMU boleh jadi akan kehilangan makna katika ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik dan tidak mengembangkan.

Apa yang harus Umar berikan kepada calon istri Umar adalah peluang untuk berkembang.... keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa bahwa superioritas Umar terganggu. Ini tidak berarti Umar harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah apa yang ia butuhkan.

Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dalam keseimbangan, dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang Umar perlu memotong sejumlah ranting yang sudah kepanjangan agar tetap selalu terlihat serasi dan harmoni.

Hidup ini adalah simponi yang kita mainkan dengan indah, maka duduklah sejenak bersama istri Umar nanti, tatap matanya lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri sendiri APAKAH IA TELAH MENJADI LEBIH BAIK SEJAK HIDUP BERSAMA UMAR ?! mungkinkan suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya :
DAN... NAFAS CINTANYA..... MENIUP KUNCUPKU..... MAKA ... IA MEKAR JADI BUNGA.
dari Anis Mata

Read More...

Senin, 04 Agustus 2008

Misi Kemanusiaan Agung Itu Bernama Pernikahan



Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata ketika Menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria pilihannya.



"Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi sebagai
nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisan-Nya tersebut," petuah sang Ustadz sembari ia mengutip surat Annisa ayat satu.

Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama
makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.

Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.

Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.

Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).

Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.

Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya.Antara satu keluarga dengan
keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.

Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.

Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi. "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya
ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).

Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan
lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.

Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.

Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.

Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan
social dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.

Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinyalah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.

Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya,
peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.

Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."

Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."

Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah.

Read More...

Rabu, 25 Juni 2008

Antara Khimar dan Jilbab


Banyak kesalahpahaman terhadap Islam di tengah masyarakat. Misalnya saja jilbab. Tak sedikit orang menyangka bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah kerudung. Padahal tidak demikian. Jilbab bukan kerudung. Kerudung dalam al-Qur’an surah An-Nuur [24]: 31 disebut dengan istilah khimar (jamaknya: khumur), bukan jilbab. Adapun jilbab yang terdapat dalam surah al-Ahzab [33]: 59, sebenarnya adalah baju longgar yang menutupi seluruh tubuh perempuan dari atas sampai bawah.



Kesalahpahaman lain yang sering dijumpai adalah anggapan bahwa busana muslimah itu yang penting sudah menutup aurat, sedang mode baju apakah terusan atau potongan, atau memakai celana panjang, dianggap bukan masalah. Dianggap, model potongan atau bercelana panjang jeans oke-oke saja, yang penting ‘kan sudah menutup aurat. Kalau sudah menutup aurat, dianggap sudah berbusana muslimah secara sempurna. Padahal tidak begitu. Islam telah menetapkan syarat-syarat bagi busana muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang ditunjukkan oleh nash-nash al-Qur’an dan as-Sunnah. Menutup aurat itu hanya salah satu syarat, bukan satu-satunya syarat busana dalam kehidupan umum. Syarat lainnya misalnya busana muslimah tidak boleh menggunakan bahan tekstil yang transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun menutup aurat tapi kalau mencetak tubuh alias ketat —atau menggunakan bahan tekstil yang transparan— tetap belum dianggap busana muslimah yang sempurna.

Karena itu, kesalahpahaman semacam itu perlu diluruskan, agar kita dapat kembali kepada ajaran Islam secara murni serta bebas dari pengaruh lingkungan, pergaulan, atau adat-istiadat rusak di tengah masyarakat sekuler sekarang. Memang, jika kita konsisten dengan Islam, terkadang terasa amat berat. Misalnya saja memakai jilbab (dalam arti yang sesungguhnya). Di tengah maraknya berbagai mode busana wanita yang diiklankan trendi dan up to date, jilbab secara kontras jelas akan kelihatan ortodoks, kaku, dan kurang trendi (dan tentu, tidak seksi). Padahal, busana jilbab itulah pakaian yang benar bagi muslimah.

Di sinilah kaum muslimah diuji. Diuji imannya, diuji taqwanya. Di sini dia harus memilih, apakah dia akan tetap teguh mentaati ketentuan Allah dan Rasul-Nya, seraya menanggung perasaan berat hati namun berada dalam keridhaan Allah, atau rela terseret oleh bujukan hawa nafsu atau rayuan syaitan terlaknat untuk mengenakan mode-mode liar yang dipropagandakan kaum kafir dengan tujuan agar kaum muslimah terjerumus ke dalam limbah dosa dan kesesatan.

Berkaitan dengan itu, Nabi Saw pernah bersabda bahwa akan tiba suatu masa di mana Islam akan menjadi sesuatu yang asing —termasuk busana jilbab— sebagaimana awal kedatangan Islam. Dalam keadaan seperti itu, kita tidak boleh larut. Harus tetap bersabar, dan memegang Islam dengan teguh, walaupun berat seperti memegang bara api. Dan insyaAllah, dalam kondisi yang rusak dan bejat seperti ini, mereka yang tetap taat akan mendapat pahala yang berlipat ganda. Bahkan dengan pahala lima puluh kali lipat daripada pahala para shahabat. Sabda Nabi Saw:

“Islam bermula dalam keadaan asing. Dan ia akan kembali menjadi sesuatu yang asing. Maka beruntunglah orang-orang yang terasing itu.” [HR. Muslim no. 145].

“Sesungguhnya di belakang kalian ada hari-hari yang memerlukan kesabaran. Kesabaran pada masa-masa itu bagaikan memegang bara api. Bagi orang yang mengerjakan suatu amalan pada saat itu akan mendapatkan pahala lima puluh orang yang mengerjakan semisal amalan itu. Ada yang berkata, “Hai Rasululah, apakah itu pahala lima puluh di antara mereka?” Rasululah Saw menjawab, “Bahkan lima puluh orang di antara kalian (para shahabat).” [HR. Abu Dawud, dengan sanad hasan].

2. Aurat Dan Busana Muslimah

Ada 3 (tiga) masalah yang sering dicampuradukkan yang sebenarnya merupakan masalah-masalah yang berbeda-beda.

Pertama, masalah batasan aurat bagi wanita.

Kedua, busana muslimah dalam kehidupan khusus (al hayah al khashshash), yaitu tempat-tempat di mana wanita hidup bersama mahram atau sesama wanita, seperti rumah-rumah pribadi, atau tempat kost.

Ketiga, busana muslimah dalam kehidupan umum (al hayah ‘ammah), yaitu tempat-tempat di mana wanita berinteraksi dengan anggota masyarakat lain secara umum, seperti di jalan-jalan, sekolah, pasar, kampus, dan sebagainya. Busana wanita muslimah dalam kehidupan umum ini terdiri dari jilbab dan khimar.

a. Batasan Aurat Wanita

Aurat wanita adalah seluruh anggota tubuhnya kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Lehernya adalah aurat, rambutnya juga aurat bagi orang yang bukan mahram, meskipun cuma selembar. Seluruh tubuh kecuali wajah dan dua telapak tangan adalah aurat yang wajib ditutup. Hal ini berlandaskan firman Allah SWT:

“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).

Yang dimaksud “wa laa yubdiina ziinatahunna” (janganlah mereka menampakkan perhiasannya), adalah “wa laa yubdiina mahalla ziinatahinna” (janganlah mereka menampakkan tempat-tempat (anggota tubuh) yang di situ dikenakan perhiasan) (Lihat Abu Bakar Al-Jashshash, Ahkamul Qur’an, juz III, hal. 316).

Selanjutnya, “illa maa zhahara minha” (kecuali yang (biasa) nampak dari padanya). Jadi ada anggota tubuh yang boleh ditampakkan. Anggota tubuh tersebut, adalah wajah dan dua telapak tangan. Demikianlah pendapat sebagian shahabat, seperti ‘Aisyah, Ibnu Abbas, dan Ibnu Umar (Al-Albani, 2001 : 66). Ibnu Jarir Ath-Thabari (w. 310 H) berkata dalam kitab tafsirnya Jami’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Qur’an, juz XVIII, hal. 84, mengenai apa yang dimaksud dengan “kecuali yang (biasa) nampak dari padanya” (illaa maa zhahara minha): “Pendapat yang paling mendekati kebenaran adalah yang mengatakan, ‘Yang dimaksudkan adalah wajah dan dua telapak tangan’.” Pendapat yang sama juga dinyatakan Imam Al-Qurthubi dalam kitab tafsirnya Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an, juz XII, hal. 229 (Al-Albani, 2001 : 50 & 57).

Jadi, yang dimaksud dengan apa yang nampak dari padanya adalah wajah dan dua telapak tangan. Sebab kedua anggota tubuh inilah yang biasa nampak dari kalangan muslimah di hadapan Nabi Saw sedangkan beliau mendiamkannya. Kedua anggota tubuh ini pula yang nampak dalam ibadah-ibadah seperti haji dan shalat. Kedua anggota tubuh ini biasa terlihat di masa Rasulullah Saw, yaitu di masa masih turunnya ayat al-Qur’an (An-Nabhani, 1990 : 45). Di samping itu terdapat alasan lain yang menunjukkan bahwasanya seluruh tubuh wanita adalah aurat kecuali wajah dan dua telapak tangan karena sabda Rasulullah Saw kepada Asma’ binti Abu Bakar:

“Wahai Asma’ sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) maka tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini, seraya menunjukkan wajah dan telapak tangannya.” [HR. Abu Dawud].

Inilah dalil-dalil yang menunjukkan dengan jelas bahwasanya seluruh tubuh wanita itu adalah aurat, kecuali wajah dan dua telapak tangannya. Maka diwajibkan atas wanita untuk menutupi auratnya, yaitu menutupi seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangannya.

b. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Khusus

Adapun dengan apa seorang muslimah menutupi aurat tersebut, maka di sini syara’ tidak menentukan bentuk/model pakaian tertentu untuk menutupi aurat, akan tetapi membiarkan secara mutlak tanpa menentukannya dan cukup dengan mencantumkan lafadz dalam firman-Nya (Qs. an-Nuur [24]: 31) “wa laa yubdiina” (Dan janganlah mereka menampakkan) atau sabda Nabi Saw “lam yashluh an yura minha” (tidak boleh baginya menampakkan tubuhnya) [HR. Abu Dawud]. Jadi, pakaian yang menutupi seluruh auratnya kecuali wajah dan telapak tangan dianggap sudah menutupi, walau bagaimana pun bentuknya. Dengan mengenakan daster atau kain yang panjang juga dapat menutupi, begitu pula celana panjang, rok, dan kaos juga dapat menutupinya. Sebab bentuk dan jenis pakaian tidak ditentukan oleh syara’.

Berdasarkan hal ini maka setiap bentuk dan jenis pakaian yang dapat menutupi aurat, yaitu yang tidak menampakkan aurat dianggap sebagai penutup bagi aurat secara syar’i, tanpa melihat lagi bentuk, jenis, maupun macamnya.

Namun demikian syara’ telah mensyaratkan dalam berpakaian agar pakaian yang dikenakan dapat menutupi kulit. Jadi pakaian harus dapat menutupi kulit sehingga warna kulitnya tidak diketahui. Jika tidak demikian, maka dianggap tidak menutupi aurat. Oleh karena itu apabila kain penutup itu tipis/transparan sehingga nampak warna kulitnya dan dapat diketahui apakah kulitnya berwarna merah atau coklat, maka kain penutup seperti ini tidak boleh dijadikan penutup aurat.

Mengenai dalil bahwasanya syara’ telah mewajibkan menutupi kulit sehingga tidak diketahui warnanya, adalah hadits yang diriwayatkan dari Aisyah r.a. bahwasanya Asma’ binti Abubakar telah masuk ke ruangan Nabi Saw dengan berpakaian tipis/transparan, lalu Rasulullah Saw berpaling seraya bersabda:

“Wahai Asma` sesungguhnya seorang wanita itu apabila telah baligh (haidl) tidak boleh baginya untuk menampakkan tubuhnya kecuali ini dan ini.” [HR. Abu Dawud].

Jadi Rasulullah Saw menganggap kain yang tipis itu tidak menutupi aurat, malah dianggap menyingkapkan aurat. Oleh karena itu lalu Nabi Saw berpaling seraya memerintahkannya menutupi auratnya, yaitu mengenakan pakaian yang dapat menutupi.

Dalil lainnya juga terdapat dalam hadits riwayat Usamah bin Zaid, bahwasanya ia ditanyai oleh Nabi Saw tentang Qibtiyah (baju tipis) yang telah diberikan Nabi Saw kepada Usamah. Lalu dijawab oleh Usamah bahwasanya ia telah memberikan pakaian itu kepada isterinya, maka Rasulullah Saw bersabda kepadanya:

“Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu, karena sesungguhnya aku khawatir kalau-kalau nampak lekuk tubuhnya.” [HR. Ahmad dan Al-Baihaqi, dengan sanad hasan. Dikeluarkan oleh Adh-Dhiya’ dalam kitab Al-Ahadits Al-Mukhtarah, juz I, hal. 441] (Al-Albani, 2001 : 135).

Qibtiyah adalah sehelai kain tipis. Oleh karena itu tatkala Rasulullah Saw mengetahui bahwasanya Usamah memberikannya kepada isterinya, beliau memerintahkan agar dipakai di bagian dalam kain supaya tidak kelihatan warna kulitnya dilihat dari balik kain tipis itu, sehingga beliau bersabda: “Suruhlah isterimu mengenakan baju dalam di balik kain Qibtiyah itu.”

Dengan demikian kedua hadits ini merupakan petunjuk yang sangat jelas bahwasanya syara’ telah mensyaratkan apa yang harus ditutup, yaitu kain yang dapat menutupi kulit. Atas dasar inilah maka diwajibkan bagi wanita untuk menutupi auratnya dengan pakaian yang tidak tipis sedemikian sehingga tidak tergambar apa yang ada di baliknya.

c. Busana Muslimah Dalam Kehidupan Umum

Pembahasan poin b di atas adalah topik mengenai penutupan aurat wanita dalam kehidupan khusus. Topik ini tidak dapat dicampuradukkan dengan pakaian wanita dalam kehidupan umum, dan tidak dapat pula dicampuradukkan dengan masalah tabarruj pada sebagian pakaian-pakaian wanita.

Jadi, jika seorang wanita telah mengenakan pakaian yang menutupi aurat, tidak berarti lantas dia dibolehkan mengenakan pakaian itu dalam kehidupan umum, seperti di jalanan umum, atau di sekolah, pasar, kampus, kantor, dan sebagainya. Mengapa? Sebab untuk kehidupan umum terdapat pakaian tertentu yang telah ditetapkan oleh syara’. Jadi dalam kehidupan umum tidaklah cukup hanya dengan menutupi aurat, seperti misalnya celana panjang, atau baju potongan, yang sebenarnya tidak boleh dikenakan di jalanan umum meskipun dengan mengenakan itu sudah dapat menutupi aurat.

Seorang wanita yang mengenakan celana panjang atau baju potongan memang dapat menutupi aurat. Namun tidak berarti kemudian pakaian itu boleh dipakai di hadapan laki-laki yang bukan mahram, karena dengan pakaian itu ia telah menampakkan keindahan tubuhnya (tabarruj). Tabarruj adalah, menempakkan perhiasan dan keindahan tubuh bagi laki-laki asing/non-mahram (izh-haruz ziinah wal mahasin lil ajaanib) (An-Nabhani, 1990 : 104). Oleh karena itu walaupun ia telah menutupi auratnya, akan tetapi ia telah bertabarruj, sedangkan tabarruj dilarang oleh syara’.

Pakaian wanita dalam kehidupan umum ada 2 (dua), yaitu baju bawah (libas asfal) yang disebut dengan jilbab, dan baju atas (libas a’la) yaitu khimar (kerudung). Dengan dua pakaian inilah seorang wanita boleh berada dalam kehidupan umum, seperti di kampus, supermarket, jalanan umum, kebun binatang, atau di pasar-pasar.

Apakah pengertian jilbab? Dalam kitab Al Mu’jam Al Wasith karya Dr. Ibrahim Anis (Kairo : Darul Maarif) halaman 128, jilbab diartikan sebagai “Ats tsaubul musytamil ‘alal jasadi kullihi” (pakaian yang menutupi seluruh tubuh), atau “Ma yulbasu fauqa ats tsiyab kal milhafah” (pakaian luar yang dikenakan di atas pakaian rumah, seperti milhafah (baju terusan), atau “Al Mula`ah tasytamilu biha al mar’ah” (pakaian luar yang digunakan untuk menutupi seluruh tubuh wanita).

Jadi jelaslah, bahwa yang diwajibkan atas wanita adalah mengenakan kain terusan (dari kepala sampai bawah) (Arab: milhafah/mula`ah) yang dikenakan sebagai pakaian luar (di bawahnya masih ada pakaian rumah, seperti daster, tidak langsung pakaian dalam) lalu diulurkan ke bawah hingga menutupi kedua kakinya.

Untuk baju atas, disyariatkan khimar, yaitu kerudung atau apa saja yang serupa dengannya yang berfungsi menutupi seluruh kepala, leher, dan lubang baju di dada. Pakaian jenis ini harus dikenakan jika hendak keluar menuju pasar-pasar atau berjalan melalui jalanan umum (An-Nabhani, 1990 : 48).

Apabila ia telah mengenakan kedua jenis pakaian ini (jilbab dan khimar) dibolehkan baginya keluar dari rumahnya menuju pasar atau berjalan melalui jalanan umum, yaitu menuju kehidupan umum. Akan tetapi jika ia tidak mengenakan kedua jenis pakaian ini maka dia tidak boleh keluar dalam keadaan apa pun, sebab perintah yang menyangkut kedua jenis pakaian ini datang dalam bentuk yang umum, dan tetap dalam keumumannya dalam seluruh keadaan, karena tidak ada dalil yang mengkhususkannya.

Dalil mengenai wajibnya mengenakan dua jenis pakaian ini, karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bagian atas (khimar/kerudung):

“Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (Qs. an-Nuur [24]: 31).

Dan karena firman Allah SWT mengenai pakaian bagian bawah (jilbab):

“Wahai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min: ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya.” (Qs. al-Ahzab [33]: 59).

Adapun dalil bahwa jilbab merupakan pakaian dalam kehidupan umum, adalah hadits yang diriwayatkan dari Ummu ‘Athiah r.a., bahwa dia berkata:

“Rasulullah Saw memerintahkan kaum wanita agar keluar rumah menuju shalat Ied, maka Ummu ‘Athiyah berkata, ‘Salah seorang di antara kami tidak memiliki jilbab?’ Maka Rasulullah Saw menjawab: ‘Hendaklah saudarinya meminjamkan jilbabnya kepadanya!’” [Muttafaqun ‘alaihi] (Al-Albani, 2001 : 82).

Berkaitan dengan hadits Ummu ‘Athiyah ini, Syaikh Anwar Al-Kasymiri, dalam kitabnya Faidhul Bari, juz I, hal. 388, mengatakan: “Dapatlah dimengerti dari hadits ini, bahwa jilbab itu dituntut manakala seorang wanita keluar rumah, dan ia tidak boleh keluar (rumah) jika tidak mengenakan jilbab.” (Al-Albani, 2001 : 93).

Dalil-dalil di atas tadi menjelaskan adanya suatu petunjuk mengenai pakaian wanita dalam kehidupan umum. Allah SWT telah menyebutkan sifat pakaian ini dalam dua ayat di atas yang telah diwajibkan atas wanita agar dikenakan dalam kehidupan umum dengan perincian yang lengkap dan menyeluruh. Kewajiban ini dipertegas lagi dalam hadits dari Ummu ‘Athiah r.a. di atas, yakni kalau seorang wanita tak punya jilbab —untuk keluar di lapangan sholat Ied (kehidupan umum)— maka dia harus meminjam kepada saudaranya (sesama muslim). Kalau tidak wajib, niscaya Nabi Saw tidak akan memerintahkan wanita mencari pinjaman jilbab.

Untuk jilbab, disyaratkan tidak boleh potongan, tetapi harus terulur sampai ke bawah sampai menutup kedua kaki, sebab Allah SWT mengatakan: “yudniina ‘alaihinna min jalabibihinna” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka).

Dalam ayat tersebut terdapat kata “yudniina” yang artinya adalah yurkhiina ila asfal (mengulurkan sampai ke bawah/kedua kaki). Penafsiran ini —yaitu idnaa’ berarti irkhaa’ ila asfal— diperkuat dengan dengan hadits Ibnu Umar bahwa dia berkata, Rasulullah Saw telah bersabda:

“Barang siapa yang melabuhkan/menghela bajunya karena sombong, maka Allah tidak akan melihatnya pada Hari Kiamat nanti.’ Lalu Ummu Salamah berkata,’Lalu apa yang harus diperbuat wanita dengan ujung-ujung pakaian mereka (bi dzuyulihinna).” Nabi Saw menjawab,’Hendaklah mereka mengulurkannya (yurkhiina) sejengkal (syibran)’ (yakni dari separoh betis). Ummu Salamah menjawab, ‘Kalau begitu, kaki-kaki mereka akan tersingkap.’ Lalu Nabi menjawab, ‘Hendaklah mereka mengulurkannya sehasta (fa yurkhiina dzira`an) dan jangan mereka menambah lagi dari itu.” [HR. At-Tirmidzi, juz III, hal. 47; hadits sahih] (Al-Albani, 2001 : 89).

Hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa pada masa Nabi Saw, pakaian luar yang dikenakan wanita di atas pakaian rumah —yaitu jilbab— telah diulurkan sampai ke bawah hingga menutupi kedua kaki.

Berarti jilbab adalah terusan, bukan potongan. Sebab kalau potongan, tidak bisa terulur sampai bawah. Atau dengan kata lain, dengan pakaian potongan seorang wanita muslimah dianggap belum melaksanakan perintah “[/i]yudniina ‘alaihinna min jalaabibihina[/i]” (Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbabnya). Di samping itu kata min dalam ayat tersebut bukan min lit tab’idh (yang menunjukkan arti sebagian) tapi merupakan min lil bayan (menunjukkan penjelasan jenis). Jadi artinya bukanlah “Hendaklah mereka mengulurkan sebagian jilbab-jilbab mereka” (sehingga boleh potongan), melainkan Hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka (sehingga jilbab harus terusan) (An-Nabhani, 1990 : 45-51).

3. Penutup

Dari penjelasan di atas jelas bahwa wanita dalam kehidupan umum wajib mengenakan baju terusan yang longgar yang terulur sampai ke bawah yang dikenakan di atas baju rumah mereka. Itulah yang disebut dengan jilbab dalam al-Qur’an.

Jika seorang wanita muslimah keluar rumah tanpa mengenakan jilbab seperti itu, dia telah berdosa, meskipun dia sudah menutup auratnya. Sebab mengenakan baju yang longgar yang terulur sampai bawah adalah fardlu hukumnya. Dan setiap pelanggaran terhadap yang fardlu dengan sendirinya adalah suatu penyimpangan dari syariat Islam di mana pelakunya dipandang berdosa di sisi Allah.

Read More...

Jumat, 21 Maret 2008

Menjemput Kemuliaan Nikah


Nasehat nikah itu berbunyi, “Bersiap-siaplah engkau menghadapi banyak hal yang belum pernah terbayang. Menghadapi keadaan-keadaan sulit, bahkan mungkin teramat sulit. Berat, bahkan teramat berat yang belum pernah engkau rasakan sebelumnya. Meskipun juga engkau akan merasakan keindahan, kebahagiaan yang juga belum pernah engkau nikmati.”




Perjanjian Berat Penuh Amanah

Saudaraku karena Allah, sesekali menyendirilah. Ingat kembali saat-saat janji suci akad nikah itu diikrarkan. Ikrar suci menggema. Perjanjian berat menggunakan nama Allah itu engkau terima. Ikrar berat itu disaksikan para malaikat. Ya, engkau telah berani mengambil sebuah perjanjian berat atas nama Allah Rabb semesta alam, mitsaqan ghalidzan.

Pernikahan bukanlah ikatan main-main. Biarpun di dalamnya ada keindahan dan kesenangan-kesenangan yang boleh dinikmati berdua, namun di balik itu ada amanah besar. Ya, amanah besar yang kelak akan engkau pertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.

Rasulullah bersabda, “Takutlah kepada Allah dari urusan kaum wanita, karena kalian telah mengambilnya dengan amanat Allah, kehormatan mereka telah halal bagi kalian dengan kalimat Allah....” (H.R. Muslim)

Saudaraku karena Allah, pernikahan juga berarti keberanian mengambil keputusan besar dalam hidup. Kalian telah berani memilih jalan kemuliaan. Jalan yang disyariatkan Allah dan Rasul-Nya. Kata nabi, jalan penyempurnaan separo agama.

Beda dengan jalannya para pengecut. Ya, di luar sana, banyak laki-laki pengecut yang hanya berani bermain perempuan namun tidak siap untuk mengambil tanggungjawab pernikahan. Dan, banyak wanita pengecut yang hanya berani berteman dengan laki-laki namun tidak siap untuk dinikahi.

Padahal Rasulullah saw. bersabda, “Wahai para pemuda barangsiapa di antara kalian mampu untuk ba’ah, maka nikahlah. Karena yang demikian (menikah) itu akan menjaga pandanganmu dan menyelamatkan farjimu ...” (Muttafaq ‘alaih)

Rasulullah juga mengabarkan, bahwa orang yang menikah akan ditolong oleh Allah. Beliau bersabda, “Ada tiga golongan yang berhak mendapat pertolongan Allah. Yaitu mujahid fi sabilillah, seorang budak yang hendak menebus dirinya supaya merdeka dan seorang yang menikah untuk menjaga kehormatannya.” (H.R Ahmad)


Orientasi Rumah Tangga

Saudaraku, memahami dan menjalankan tugas masing-masing (suami-istri) dengan benar menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup berumah tangga. Memiliki persepsi yang sama tentang tujuan, dan orientasi hidup adalah suatu keutamaan. Mengarahkan laju berlayarnya bahtera rumah tangga menuju ridha Allah adalah kepastian. Dan menjadikan al Qur’an dan Sunnah sebagai panduan adalah keharusan.

Jangan seperti umumnya masyarakat. Orientasi hidup mereka bukan agama, tapi materi. Hampir seluruh aktifitas hidup mereka berputar pada poros ini, mengejar materi. Waktu, tenaga, pikiran, dan semuanya dikuras habis. Bahkan sampai meninggalkan kewajiban terbesar (ibadah dan berda’wah) hanya untuk mengejar ‘tuhan’ baru ini, materi.

Materi dianggap sebagai sumber kebahagiaan. Segala aktifitas direncanakan dan dilakukan hanya untuk menghasilkan materi. Yang dipikirkan hanya seputar bagaimana cara memiliki rumah, tanah, mobil, makan enak, pakaian indah. Kesuksesan sebuah keluarga hanya diukur dengan banyaknya materi yang dimiliki. Padahal, persoalan hidup kita bukan hanya sekedar persoalan makan, pakaian, rumah, dan segala kelengkapanya. Bukan. Ada hal lain yang juga penting untuk diperhatikan, yakni agama dan masa depan akhirat.

Ketika ada seseorang mengeluh, mengadukan persoalan hidupnya yang sempit, seorang ulama besar Mesir menasehati, “Persoalan terbesar kita dalam hidup ini bukan dunia, bukan kemiskinan, tetapi apakah kita kelak masuk surga atau tidak.” Ya, benar, apakah kita dan keluarga yang kita bangun ini, kelak bisa reuni di surga sana atau tidak? Inilah persoalan penting yang juga harus kita pikirkan. Tapi justru ini yang sering tak terpikirkan.

Saudaraku, pernyataan itu bukan bermaksud menyuruh kita mengabaikan masa depan dunia, melainkan hanya ‘sekedar’ mengingatkan bahwa selain persoalan dunia (ekonomi sulit), kita juga harus memikirkan nasib masa depan akhirat kita. Jangan dibelenggu persoalan dunia.


Jadikan Islam Sebagai Asas Keluarga

Saudaraku fillah, di antara suami istri pasti banyak memiliki perbedaan. Berbeda latar belakang, kebiasaan, sifat, cara berpikir, dan lain sebagainya. Dan tidak mustahil perbedaan-perbedaan itu bisa memicu munculnya masalah. Nah, jika kita dalam masalah, sepakatlah untuk menjadikan Islam sebagai pemecahnya. Apa saja perbedaan itu, tanyakan pada syariat Islam. Apa pun jawaban Islam tentang itu, terimalah.

Jangan egois. Jangan mengukur kebenaran dengan akal dan nafsumu. Sebab nikah kalian berlandaskan agama, sehingga kalian harus rela diatur oleh agama. Allah berfirman:
Artinya, “Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS an Nisa’ : 59).

Tanyakan pada syariat sebelum mengambil keputusan dalam segala urusan. Kemudian terimalah keputusan syariat dengan ketundukan. Allah berfirman, “Demi Tuhanmu, mereka pada hakekatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan.” (TQS an Nisa’ : 65)

Ditegaskan lagi oleh Allah bahwa setiap muslim tidak memiliki pilihan setelah Allah memutuskan hukum. “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak pula bagi perempuan mukminat apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan yang lain tentang urusan mereka.” (TQS al- Ahzab : 36)

Saudaraku, jadikan nabi saw. sebagai satu-satunya panutan. Jangan mencontoh gaya berumah tangga para artis atau masyarakat umum. Allah berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri tauladan yang baik bagi kalian.” (T.Q.S al Ahzab : 2)

Cukupkanlah hanya kepada nabi saw, kita berittiba’. Sebab mengikuti beliau adalah bukti iman kita kepada Allah. Allah berfirman, “Katakanlah, “Jika kalian benar-benar mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” (T.Q.S Ali Imran : 31)

Dalam setiap masalah yang kalian hadapi, mudahkan untuk saling minta maaf seperti halnya Rasulullah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan, “Rasulullah bukanlah seorang yang keji dan tidak suka berkata keji, beliau bukan seorang yang suka berteriak-teriak di pasar dan membalas kejahatan dengan kejahatan. Bahkan sebaliknya, beliau suka memaafkan dan merelakan.” (H.R Ahmad)

Jadilah Istri Shalihah

Saudaraku karena Allah, salah satu kunci kebahagiaan rumah tangga adalah jika kedua pihak (suami istri) mampu menjalankan fungsinya dengan benar. Seorang istri menjadi istri shalihah dan seorang suami menjadi suami yang shalih. Sungguh, istri shalihah adalah wanita idaman setiap suami.

Wanita shalihah adalah sebaik-baik perhiasan dunia. ‘Abdullah ibn ‘Amr r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda :

«الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرً مَتَاعِهاَ اْلمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ»

Dunia itu perhiasan; sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita shalihah. (H.R Muslim).

Ciri-ciri istri shalihah kurang lebih sebagai berikut:

Pertama, menaati Allah dan suaminya. Allah Swt. berfirman:

فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ

Wanita yang shalihah adalah yang menaati Allah dan memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Allah telah memelihara mereka” (QS an-Nisa’ [4]: 3).

Abu Hurairah juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«لَوْ كُنْتُ آمِرًا اَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْاَةَ اَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا»

Seandainya aku boleh memerintahkan seseorang bersujud kepada orang lain, aku pasti akan memerintahkan kepada wanita untuk bersujud kepada suaminya. (H.R at-Turmudzi).

Hadis ini disahihkan oleh al-Hakim dan Ibn Hibban. Dalam riwayat Ibn Hibban ditambahkan kalimat:

«وَ الَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِي حَقَّ زّوْجِهَا»

Demi Zat Yang jiwaku ada di tangan-Nya, seorang wanita dipandang belum menunaikan hak Tuhannya sebelum ia menunaikan hak suaminya. (H.R Ibn Hibban).

Kedua, berhias hanya untuk suaminya.

Rasulullah saw. pernah bersabda, sebagaimana dituturkan Sa‘ad, demikian:
«فَمِنَ السَّعَادَةِ الْمَرْأَةُ تَرَاهَا تُعْجِبُكَ وَتُغِيْبُهَا فَتَأْمَنُهَا عَلَى نَفْسِهَا وَ مَالِكَ»

Di antara kebahagiaan itu ialah istri yang jika engkau pandang, ia membuatmu takjub, dan jika engkau meninggalkannya, ia akan memelihara dirinya dan hartamu. (H.R al-Hakim).

Ketiga, memelihara rumah, diri, dan harta suaminya.

Hukum asal seorang wanita adalah sebagai umm[un] wa rabbah al-bayt (sebagai ibu dan pengatur rumah tangga). Hal ini didasarkan pada hadis dari Ibn ‘Umar. Disebutkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

« وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْئُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا»

Seorang wanita (istri) adalah pemimpin (pengurus) rumah suaminya dan anak-anaknya; ia bertanggung jawab atas yang dipimpinnya. (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Abu Hurairah r.a. juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«خَيْرُ نِسَاءٍ رَكِبْنَ الإِْبِلَ نِسَاءِ قُرَيْشٍ أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صِغَرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ»

Sebaik-baik wanita yang menunggang unta adalah wanita Quraisy; ia sangat menyayangi anaknya ketika kecil dan sangat memperhatikan suaminya ketika ada di sisinya. (H.R Muslim).

Keempat, membantu suaminya dalam urusan akhirat.

Rasulullah saw. bersabda:

«لِيَتَّخِذْ أَحَدُكُمْ قَلْبًا شَاكِرًا وَلِسَانًا ذَاكِرًا وَزَوْجَةً مُؤْمِنَةً تُعِينُ أَحَدَكُمْ عَلَى أَمْرِ الْآخِرَةِ»

Hendaknya salah seorang di antara kalian mempunyai kalbu yang bersyukur, lisan yang senantiasa berzikir, dan istri yang beriman yang dapat membantumu dalam urusan akhirat. (H.R Ibn Majah).

‘Abdurrahman ibn Abza juga menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah berkata yang artinya, “Seorang wanita shalihah bagi seorang laki-laki adalah seperti mahkota yang bertahtakan emas di atas kepala seorang raja. Sebaliknya, seorang wanita yang buruk bagi seorang laki-laki adalah seperti beban yang berat di pundak seorang laki-laki tua.” (H.R Ibn Abu Syaibah).

Kelima, memiliki bekal agama yang baik.

Ibn Majah meriwayatkan dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ia berkata : Rasulullah saw. bersabda :

«لاَ تَزَوَّجُوا النِّسَاءَ لِحُسْنِهِنَّ فَعَسَى حُسْنُهُنَّ أَنْ يُرْدِيَهُنَّ وَلاَ تَزَوَّجُوهُنَّ لأَِمْوَالِهِنَّ فَعَسَى أَمْوَالُهُنَّ أَنْ تُطْغِيَهُنَّ وَلَكِنْ تَزَوَّجُوهُنَّ عَلَى الدِّينِ وَلأَمَةٌ خَرْمَاءُ سَوْدَاءُ ذَاتُ دِينٍ أَفْضَلُ»

Janganlah kalian menikahi wanita karena kecantikannya karena kecantikannya itu akan menjadikannya berlebihan; jangan pula kalian menikahi wanita karena hartanya karena hartanya itu akan membuatnya membangkang. Nikahilah wanita atas dasar agamanya. Sesungguhnya seorang hamba sahaya perempuan yang hitam legam yang memiliki kebaikan agama adalah lebih utama. (H.R Ibn Majah).

Abu Adzinah ash-Shudfi menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«خَيْرُ نِسَائِكُمْ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلمُوَاتِيَةُ اْلمُوَاسِيَةُ إِذَا اتَّقَيَنَّ اللهَ»

Sebaik-baik istri kalian adalah yang penyayang, banyak anak (subur), suka menghibur, dan membantu jika ia bertakwa kepada Allah. (H.R al-Baihaqi).

Keenam, mempergauli suaminya dengan baik untuk memelihara keridhaannya.

Rasulullah saw. bersabda, “Pergilah kepada wanita mana saja dan beritahulah mereka yang ada di belakangmu, bahwa kebaikan salah seorang di antara kalian (para wanita) dalam memperlakukan suaminya, mencari keridhaan suaminya, dan mengikuti keinginannya adalah mengalahkan (pahala) semua itu (jihad, sholat jamaah).” (H.R al-Baihaqi).

Di antara kebaikan pergaulan wanita terhadap suaminya adalah ia tidak berpuasa sunnah jika suaminya berada di rumah, kecuali seizin suaminya; juga tidak mengizinkan bukan mahramnya berada di rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. Abu Hurairah r.a. menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:

«لاَ يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ وَلاَ تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلاَّ بِإِذْنِهِ»

Tidak halal bagi seorang wanita berpuasa (sunah), sedangkan suaminya berada di rumahnya, kecuali seizin suaminya; jangan pula ia mengundang seseorang ke rumah suaminya, kecuali seizin suaminya. (H.R al-Bukhari dan Muslim).

Termasuk kebaikan pergaulan istri kepada suaminya adalah bahwa ia tidak mendirikan shalat sunnah pada malam hari, kecuali seizin suaminya.

Ibn ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. bersabda:

«لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُورِ الْعِينِ لاَ تُؤْذِيهِ قَاتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيلٌ أَوْشَكَ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»

Janganlah seorang wanita mengizinkan seseorang berada di rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya dan janganlah ia bangkit dari tempat tidurnya lalu mendirikan shalat sunnah kecuali dengan izin suaminya. (H.R ath-Thabrani).

Di antara kebaikan pergaulan istri terhadap suaminya adalah keridhaannya jika suaminya memarahinya. ‘Abdullah bin ‘Abbas menuturkan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda:
«أَلاَّ أُخْبِرُكُمْ بِِِِنِسِائِكُمْ مِنْ أَهْلِ اْلجَنَّةِ اْلوَدُوْدُ اْلوَلُوْدُ اْلعَؤُوْدُ عَلَى زَوْجِهَا الَّتِيْ إِذَا آذَت أَوِ أُوْذِيَتْ جَاءَتْ حَتَّى تَأْخُذَ بِيَدِ زَوْجِهَا ثُمَّ تَقُوْلُ وَاللهِ لاَ أَذُوْقُ غَمِضاً حَتَّى تَرْضَى»

Ingatlah, aku telah memberitahu kalian tentang istri-istri kalian yang akan menjadi penduduk surga, yaitu yang penyayang, banyak anak (subur), dan banyak memberikan manfaat kepada suaminya; yang jika ia menyakiti suaminya atau disakiti, ia segera datang hingga berada di pelukan suaminya, kemudian berkata, “Demi Allah, aku tidak bisa memejamkan mata hingga engkau meridhaiku.” (H.R al-Baihaqi).

Semua sifat di atas adalah sifat-sifat yang seharusnya menjadi sifat para wanita. Sebaliknya, ada sifat-sifat yang justru harus dijauhi oleh para wanita, di antaranya:

Pertama, menyusahkan atau menyakiti suaminya.

Mu‘adz bin Jabal menuturkan bahwa Nabi saw. pernah bersabda:

«لاَ تُؤَذِّي اِمْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِيْ الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ اْلحُوْرِ اْلعِيْنِ لاَ تُؤَذِّيْهِ قاَتَلَكِ اللهُ فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكِ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا»

Tidaklah seorang wanita menyakiti suaminya di dunia kecuali istri-istri suaminya dari para bidadari surga berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah mencelakakanmu. Sesungguhnya bagimu akan segera datang tamu kematian yang akan memisahkanmu dengan suamimu dan mengembalikannya kepada kami.” (H.R at-Tirmidzi).

Kedua, mengadukan suaminya atau banyak menuntut suaminya.

Sa‘id ibn al-Musayab menuturkan bahwa seorang anak perempuan pernah datang kepada Nabi saw. dan mengadukan suaminya. Nabi saw. kemudian bersabda (yang artinya), “Kembalilah engkau. Sungguh, aku tidak menyukai wanita menyeret ekornya mengadukan suaminya.” (HR. Sa‘id bin al-Musayyab).

Ketiga, banyak keluar rumah.

Berdiam di rumah bagi seorang wanita lebih baik daripada ia keluar dari rumah. Kesibukannya di dapur (menyiapkan makanan untuk suami keluarganya), aktivitasnya mengasuh anak, atau kegiatannya mencuci adalah lebih mulia daripada kepergiannya ke luar rumah dan berada di jalan-jalan, di kendaraan umum, atau di tempat-tempat umum yang berdesak-desakan dan bercampur dengan para lelaki.

Atas wanita shalihah ini Allah berjanji dalam firman-Nya:

]لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا[

Allah pasti akan memasukkan Mukmin laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah pun menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu sesunguhnya di sisi Allah merupakan keberuntungaan yang besar. (QS al-Fath [48]: 5).

Menjadi Suami Sholeh

Menjadi suami shalih berarti menjalankan setiap kewajibannya dengan sebaik-baiknya.

Suami shalih adalah pemimpin yang bertanggungjawab.

Allah berfirman,

“Laki-laki adalah pemimpin wanita karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka...” (QS an-Nisa’ [4] : 3)

Rasulullah bersabda,

وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ َ

“..Seorang laki-laki (suami) adalah pemimpin keluarganya; ia bertanggungjawab atas yang dipimpinnya...” (Muttafaq’alaih).

Sebaik-baik pemimpin adalah pemimpin yang mengendalikan rumah tangganya menuju ridla Allah dan surga-Nya; menghindarkan keluarga dari api neraka.

Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan yang diperintahkan.” (T.Q.S At-Tahrim : 6)

Ini tugas utama para suami, mengantarkan diri, istri dan anak-anaknya menuju surga Allah bersama-sama. Reuni bersama di tempat mulia itu.

Karakter laki-laki (suami) shalih kurang lebih sebagai berikut:

Pertama, memperhatikan agama keluarganya.

Misalnya, memerintahkan keluarganya untuk shalat.

Allah berfirman,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezeki kepadamu, Kamilah yang memberi rezeki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi yang bertakwa.” (TQS Thaha : 132)

Contoh lain, memerintahkan istri dan anak-anak perempuannya untuk berkerudung dan berjilbab ketika keluar rumah.

Allah Swt. berfirman:

]وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ[

Hendaklah mereka menutupkan kain kerudung (khimâr) sampai ke dada-dada mereka. (QS an-Nur [24]: 31).

Allah Swt. berfirman :

]يَاأَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ ِلأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلاَبِيبِهِنَّ[

Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang Mukmin: Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka. (QS al-Ahzab [33]: 59).

Kedua, menafkahi keluarga (makan, pakaian, tempat tinggal).

Allah Swt. berfirman:

]وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ[

Kewajiban ayah memberikan makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang makruf. (QS al-Baqarah [2]: 233).

]أَسْكِنُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ سَكَنْتُمْ مِنْ وُجْدِكُمْ[

Tempatkanlah mereka (para istri) di mana kalian bertempat tinggal, sesuai dengan kemampuan kalian. (QS ath-Thalaq [65]: 6).

Dalam riwayat Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Hibban dishahihkan oleh al Hakim nabi saw. bersabda, “Engkau harus memberinya makan, jika engkau makan, dan memberinya pakaian jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah, jangan menghinanya, dan jangan membiarkanya (marah/mendiamkan) kecuali di rumah.”

Satu hal penting sebagai catatan, bahwa kewajiban menafkahi istri tidak berarti suami wajib memiliki pekerjaaan tetap, tetapi dalam kondisi apapun suami harus tetap bekerja sebab, esensinya adalah memberi nafkah bukan tetap atau tidaknya pekerjaan. Namun jika bisa punya pekerjaan tetap mungkin akan lebih menenteramkan.

Ketiga, membimbing dan sabar dalam nasehati istri.

Laki-laki shalih adalah pembimbing yang senantiasa lembut dan sabar. Dia tidak keras, kasar dan tidak pula terlalu lemah.

Rasulullah bersabda, “Nasehatilah wanita dengan baik. Sebab sesungguhnya wanita itu diciptakan dari tulang rusuk yang paling bengkok di atasnya. Oleh karena itu bila kamu keras memaksanya dalam meluruskannya, maka akan hancurlah ia, dan bila kamu tinggalkan (biarkan), ia akan bengkok selamanya. Maka nasehatilah wanita dengan baik.” (H.R Bukhari Muslim).

Keempat, menjaga rahasia istrinya.

Dalam sebuah riwayat nabi saw., bersabda, “Hal yang termasuk amanah berat di hadapan Allah pada hari kiamat adalah suami yang membuka rahasia kepada istrinya dan istri membuka rahasia diri kepada suaminya, kemudian suaminya menyebarluaskan rahasia istrinya.” (H.R Muslim)

Bahkan untuk rahasia keluarga orang lain, kita tidak boleh bertanya-tanya. Rasulullah mengingatkan, “Janganlah seorang lelaki bertanya tentang sebab orang lain memukul istrinya.” (H.R Abu Dawud dan Ibnu Majah)

Kelima, mempergauli istri dengan baik (makruf), menyenangkan; tidak kaku.

Allah berfirman,
Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Diriwayatkan Rasulullah bersabda,

«خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِهِ, وَأَنَا خَيْرُكُمْ ِلأَهْلِيْ»

“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya dan aku adalah orang yang terbaik di antara kalian dalam memperlakukan keluargaku.” (H.R al-Hakim dan Ibnu Hibban)

Sikap mempergauli istri dengan baik antara lain:
Memanggil dengan panggilan yang menyenangkan

Seperti Rasulullah memanggil ‘Aisyah, istri beliau dengan panggilan mesra, ya humaira’ atau hai ‘Aisy.

Mencandainya

Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai istrinya; ....” (H.R an-Nasa’i)

Rasulullah juga mengajak istrinya berlomba lari, menertawai istrinya yang saling cemburu, romantis, dll.

Membantu kerepotan istri

‘Aisyah pernah ditanya, “Apakah yang dilakukan Rasulullah di dalam rumah?” Ia menjawab, “Beliau adalah manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan melayani diri beliau sendiri.” (H.R Ahmad dan Tirmidzi)

Menurut riwayat Muslim, ‘Aisyah berkata, “Beliau biasa membantu keluarga, apabila mendengar seruan adzan, beliau segera keluar (untuk menunaikan shalat).”

Tidak memukul wajah istri, menghina atau membencinya

Nabi bersabda, “...janganlah memukul wajah, jangan menghinanya, dan jangan membiarkannya (marah/mendiamkan) kecuali di rumah.” (H.R Ahmad).

«لاَ يَفْرَكُ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً وَإِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا بِآخَرَ»

Janganlah seseorang mukmin membenci istrinya yang mukminah. jika dia tidak menyukai suatu perangainya, niscaya dia meridhai perangai yang lain. (H.R Muslim)

Jika ada alasan syar’i bagi suami untuk memukul, maka nabi bersabda, “Apabila mereka melakukan itu (pelanggaran) maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan, dan atas mereka berhak dipenuhi rezeki dan pakaiannya dengan cara yang makruf.” (H.R Muslim)

Bersabar atas perilaku yang kurang menyenangkan

Bergaullah kalian dengan mereka secara patut. Kemudian jika kalian tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS an-Nisa’ [4]: 19).

Maka, menjadi suami shalih berarti menepati seluruh ketentuan agama dalam urusan keluarga. Dan atas orang-orang seperti itu Allah berjanji dalam firman-Nya:

]لِيُدْخِلَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا وَيُكَفِّرَ عَنْهُمْ سَيِّئَاتِهِمْ وَكَانَ ذَلِكَ عِنْدَ اللَّهِ فَوْزًا عَظِيمًا[

Allah pasti akan memasukkan Mukmin laki dan perempuan ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya. Allah pun menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Yang demikian itu sesunguhnya di sisi Allah merupakan keberuntungaan yang besar. (QS al-Fath [48]: 5).

Jadikan Rumahmu Laksana Surga

Saudaraku fillah, jadikan rumah kalian laksana taman surga. Surga kecil di bumi ini. Di dalamnya ada ketenteraman. Jauh dari pertengkaran dan perselisihan. Penuh canda. Tidak kaku. Sebab, candanya seorang suami dengan istrinya bukanlah termasuk kesia-siaan. Rasulullah bersabda, “Segala sesuatu selain dzikrullah itu permainan dan kesia-siaan, kecuali empat hal; yaitu seorang suami yang mencandai istrinya,.....” (H.R an-Nasa’i)

Saling tolong menolonglah kalian dalam ketakwaan.

Sebab kata Rasulullah, “Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu menunaian shalat. Dia bangunkan istrinya, jika istrinya enggan, maka ia percikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang istri yang bangun malam untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka ia percikan air ke wajahnya.” (H.R Abu Dawud, Nasa’i Ibnu Majah)

Masya Allah, betapa bahagianya suami istri yang demikian ini. Ia pasti merasakan indahnya ‘surga’ di dunia ini. Damai rasanya. Bisa sholat malam berdua, membaca al Quran bersama, sesekali masak berdua. Atau mungkin jalan-jalan pagi berdua. Indah sekali. Insya Allah hal ini bisa menguatkan ‘athifah dan nafsiyah.

Akhi, di surga itu tidak ada panggilan yang menyakitkan. Karena itu panggillah istri dengan sebutan menyenangkan. Seperti Rasulullah memanggil Aisyah, istri beliau dengan panggilan mesra, ya humaira atau hai Aisy.

Ukhti, biarkan ‘surga’ kalian tidak ada kesedihan. Tersenyumlah selalu, agar terasa kebahagiaan. Hilangkan kesusahan suamimu. Biarkan suamimu berkata, “Ketika aku memandangnya, hilanglah kesusahan dan kesedihan,” demikian dia menirukan Ali bin Abi Thalib mengomentari istrinya, Fatimah.

Saling ringan-meringankanlah kalian dalam semua tugas. Berbagi itu penting sekali untuk keharmonisan. Suami tak perlu merasa rendah jika membantu kerepotan istri di dapur atau sekedar memenuhi kebutuhan sendiri. Yang mulia panutan kita saja melakukannya. Aisyah pernah ditanya, “Apakah yang dilakukan Rasulullah di dalam rumah?” Ia menjawab, “Beliau adalah manusia biasa. Beliau menambal pakaian sendiri, memerah susu dan melayani diri beliau sendiri.” (H.R Ahmad dan Tirmidzi)

Menurut riwayat Muslim, Aisyah berkata, “Beliau biasa membantu keluarga, apabila mendengar seruan adzan, beliau segera keluar (untuk menunaikan shalat).”

Belajar Terus, Terus Belajar

Ingatlah kembali satu pesan mulia beberapa saat sebelum ikrar akad nikah diucapkan! “Kalian harus siap memilik hati yang menerima, jiwa yang rela, sikap yang menenteramkan, dan kesediaan untuk berjuang bersama-sama.” Renungkan kembali!

Saudaraku, yang tak kalah penting dalam hubungan suami istri adalah saling memahami. “Belajarlah terus mengenali istrimu sebab sampai kapanpun engkau tak bisa mengenalinya,” kata sebuah nasehat. Ini tidak hanya berlaku bagi suami, tapi juga kepada istri.

Ungkapan belajarlah terus dan sampai kapan pun menunjukkan sebuah proses belajar tanpa batas waktu. Seumur hidup. Sebab mengenali pasangan hidup tidaklah mudah. Sebab yang dikenali bukanlah benda. Tapi jiwa, kecenderungan, harapan-harapan, dan perasaan.

Betapa memahami itu begitu sulit. Perlu proses belajar dan toleransi. Perlu bicara dari hati ke hati. Perlu keberanian untuk menerima keputusan yang disepakati dengan ikhlas. Perlu kejujuran untuk mengakui perbedaan karena berbeda sudut pandang, kebutuhan, atau pengalaman. Perlu waktu.

Mengenal memang sulit. Memahami itu perlu kepekaan. Kadang-kadang tanpa sebab yang jelas kita merasa kecewa. Salah paham. Kadang-kadang karena omongan yang tidak berkenan, sikap yang kurang cocok dengan keinginan, tiba-tiba saling diam, jutek, sumpek, merasa disalahkan, merasa diabaikan atau tiba-tiba saja muncul perasaan jengkel, marah, dan perasaan yang tak karuan.

Ya, kadang-kadang perasaan semacam itu muncul hanya karena dipicu oleh hal-hal yang sepele. Itu tadi, tidak jelas sebabnya. Entahlah, kadang-kadang perasaan yang lain juga muncul. Misalnya, perasaan menuntut hal-hal yang lebih dari biasanya. Sebagai suami misalnya, suatu ketika ingin diperhatikan lebih. Suatu saat tertentu ingin melihat istri selalu tersenyum, selalu mengerti kebutuhan, ingin melihat semuanya bersih, rapi dll. Sama seperti seorang istri. Tiba-tiba berubah menjadi lebih sensitif, tiba-tiba sewot, tiba-tiba diam, cemberut, malas tersenyum dan malas bicara. Tidak jelas sebabnya. Sepele saja, hanya salah omong atau keliru sikap. Ini proses pengenalan dan saling memahami.

Itulah kenyataan yang harus disikapi dengan satu keputusan; berbenah. Ini konsekuensi logis yang harus dilakukan. Caranya, dengan banyak belajar. Terutama belajar menerima dan memahami bahwa itu semua sebagai sebuah proses pematangan kedewasaan. Pendewasaan sikap hidup. Ya, kenyataan dari penggalan kisah hidup itu harus diterima karena di dalamnya ada lautan hikmah. Di sini tempat belajar. Di laboratorium kehidupan. Hadapi semua itu dengan satu keyakinan, bahwa semua peristiwa hidup ini tidak sia-sia, pasti ada hikmah di balik itu semua. Satu di antara hikmah itu adalah kita sedang diajak untuk menjadi orang yang berani dewasa.

Berbenah adalah kata kunci bagi sebuah perubahan. Tanpa berbenah, kekurangan, kelemahan, ketidaksempurnaan kita akan terus menganga. Seperti luka yang tak diobati. Seperti api yang tak dipadamkan, yang bisa saja tiba-tiba membakar apa saja yang ada di dekatnya. Karena itu kita harus berbenah. Caranya, dengan terus-menerus memperbaiki diri.

Sungguh, sebagai pasangan kekasih kita memang harus bisa menerima kekurangan dan kelemahan kekasih dengan ikhlas. Namun tetap hasus ada proses perubahan; memperbaiki diri. Bukan tidak berbenah. Kekurangan harus disempurnakan. Dengan proses belajar. Belajar terus. Dan terus belajar. Tak ada satu keadaanpun sebagai pembatas belajar. Belajar itu seumur hidup. Tak ada usia pembatas belajar. Belajar itu seumur hidup. Terus dan terus. Dari buaian hingga liang lahat.

Oh ya, kenapa kadang-kadang suami diam ketika ‘dimarahi’ istri? Ini yang perlu diketahui oleh istri. Sebab, hati suami berkata, “Aku lebih butuh dimaafkan. Sebab tanggungjawabku lebih besar darimu. Selama ini ada hak-hakmu sebagai istri belum bisa aku tunaikan, terlupakan, atau terabaikan. Mungkin aku lebih sering berharap daripada memberi, lebih banyak menyusahkan daripada menyenangkan, lebih banyak mencela daripada memuji, lebih sering memerintah daripada memberi contoh. Maka, maafkan suamimu.”

Itulah gemuruh hati suami saat itu. Maka sesekali mengertilah. Ada perasaan bersalah di sana. Hehm....Sungguh, seharusnya pernikahan mampu memompa perkembangan diri dengan sempurna. Mengantarkan kita untuk lebih baik, lebih berilmu, dewasa, bertakwa, dll.

Dan, akhirnya tunggulah wahai para istri, jika engkau shalihah, suamimu kelak akan menulis surat untukmu.

“Untukmu istriku tercinta, siapapun kamu, engkaulah yang tercantik di hatiku. Engkaulah bidadari hatiku. Engkaulah kuncup yang akan kutiup agar mekar jadi bunga, yang harumnya mempesona dunia, yang kelak akan membuat cemburu para bidadari surga.”

Wallahu a’lamu bi ash shawab

Read More...