Kamis, 21 Agustus 2008

Membawa Kekasih ke Surga



“Ukhty, aku punya harapan, kelak anak-anakku penggenggam dunia. Namun hati mereka tetap hanya milik Allah dan rasulNya, karena itu aku butuh seorang ustadzah yang membimbing anak-anak dan menjadikan rumahku sebagai madrasah peradaban. Apakah anty siap menjadi ustadzah di rumahku dan menjadi ibu dari anak-anakku kelak?”


Ini sepenggal ungkapan tatkala seoarang ikhwan mengkhitbah seorang akhwat. Tatkala ingin menggenapkan sayapnya yang cuma sebelah agar bisa terbang.
Sekarang, saat kita sudah punya sayap yang lengkap, masihkan kita ingin mengajaknya terbang? Begitulah seharusnya. Kita harus konsisten dengan harapan besar tatkala menikahinya. Menggapai ridha Allah, mengantarkan dan membawanya terbang hingga di surga. Ya, kita harus membawanya. Ini bukti kesungguhan dan cinta kita pada bidadari hati kita itu.
Ini bukan romantisme. Tapi harapan. Ya, harapan. Harapan dan tekad kesungguhan setelah mengambil keputusan besar dalam hidup, menikah. Harapan untuk membawa orang-orang yang kita cintai hidup bersama di surga. Bersama, reuni di sana. Benar, setelah ikrar nikah kita ucapkan, kita punya harapan dan kewajiban, dan sebesar-besar harapan itu adalah menjadikan bidadari hati kita sebagai kekasih dunia akhirat. Tidak sebatas menjadikannya istri di dunia semata. Lebih dari itu, kita berharap akan menjadikannya bidadari tercantik di antara bidadari-bidadari surga, yang karenanya bidadari surga cerburu melihat istri kita.
Ini juga bukan romantisme. Tapi harapan. Tekat yang kuat. Tekad untuk mempersembahkan rumah indah di surga untuk istri dan keluarga kita. Dan sekarang kita harus mulai men'desain’ rumah kita itu. Rumah di surga. Ya, sekarang. Selagi kita masih diberi kesempatan beramal di muka bumi ini.

Qiyamul Lail Satu Pintunya
“Allah merahmati seorang suami yang bangun malam lalu menunaian shalat. Dia bangunkan istrinya, jika istrinya enggan, maka ia percikkan air ke wajahnya. Dan Allah merahmati seorang istri yang bangun malam untuk menunaikan shalat. Dia bangunkan suaminya dan apabila suaminya enggan, maka ia percikan air ke wajahnya.” (H.R Abu Dawud, Nasa’i Ibnu Majah)
Ini bukan romantisme. Tapi, harapan. betapa indahnya jika hadits itu benar-benar kita amalkan. Ketika suami terbangun, ia bangunkan sang istri dengan mengatakan, “Bidadariku, apakah engkau ingin tertinggal sementara aku ingin mengajakmu ke surga dengan qiyamullail ini. Bangun bidadariku, aku ingin engkau turus membersamaiku selamanya. Bersamaku, tidak hanya di dunia ini, tapi juga di sana, di negeri abadi itu. Bangun dinda, mari sholat.”
Atau sebaliknya, jika istri terbangun dia berkata, “Kekasihku, tidakkah kau ingin membawaku ke surga dengan qiyamul lailmu. Bukankah engkau ingin menjadikanku sebagai bidadari dunia akhirat, bangun suamiku. Aku rindu bertemu denganmu di surga kelak.”
Ehm. Ini bukan romantisme saudaraku. Bukan. Sungguh, ini harapan. Indah. Bahagia.
Ini juga sebuah harapan. Tentang anak-anak kita kelak. Kita punya mimpi. Mimpi menjadikan mereka menjadi mutiara-mutiara hati yang kelak menggetarkan dunia. Bertebaran di berbagai belahan bumi dengan menggemakan takbir, tahmid, tasbih dan tahlil. Ya, itu artinya kita punya dua tanggungjawab besar; menjadikan istri sebagai bidadari; dan 'melahirkan' jundi-jundi penegak tauhid
Sungguh, kita berharap dari rahim mulia istri kita terlahir pejuang-pejuang dakwah, yang karena sentuhan lembut tangan bidadari hati kita, mereka menjadi kuat dan kokoh. Dan rumah kita menjadi madrasah peradaban.
Ini bukan romatisme. Tapi harapan.

Read More...

Kamis, 14 Agustus 2008

Antara Mata dan Hati


…"Hati adalah raja, dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya.".. (Ibnul Qoyyim)

Mata adalah panglima hati. Hampir semua perasaan dan prilaku awalnya dipicu oleh pandangan mata. Bila dibiarkan mata memandang yang dibenci dan dilarang, maka pemilik nya berada di tepi jurang bahaya. Meskipun ia tidak sungguh – sungguh jatuh ke dalam jurang ". Demikian potongan nasihat Imam Ghazali rahimahullah dalam kitab Ihya Ulumuddin. Beliau memberi wasiat agar tidak menganggap ringan masalah pandangan. Ia juga mengutip bunyi sebuah sya`ir, "Semua peristiwa besar awalnya adalah mata. Lihatlah api besar yang awalnya berasal dari percikan api."
Hampir sama dengan bunyi sya`ir tersebut, sebagian salafushalih mengatakan, "Banyak makanan haram yang bisa menghalangi orang melakukan sholat tahajjud di malam hari. Banyak juga pandangan kepada yang haram sampai menghalanginya dari membaca Kitabullah."


Semoga Allah memberi naungan barakah-Nya kepada kita semua. Fitnah dan ujian tak pernah berhenti. Sangat mungkin, kita kerap mendengar bahkan mengkaji masalah mata. Tapi belum tentu kita termasuk dalam kelompok orang yang bisa memelihara matanya. Padahal, seperti diungkapkan oleh Imam Ghazali tadi, orang yang keliru menggunakan pandangan, berarti ia terancam bahayabesar karena mata adalah pintu paling luas yang bisa memberi banyak pengaruh pada hati.
Menurut Imam Ibnul Qayyim, mata adalah penuntun, sementara hati adalah pendorong dan pengikut. Yang pertama, mata, memiliki kenikmatan pandangan. Sedang yang kedua, hati, memiliki kenikmatan pencapaian. "Dalam dunia nafsu keduanya adalah sekutu mesra. Jika terpuruk dalam kesulitan, maka masing-masing akan salang mencela dan mencerai," jelas Ibnul Qayyim.
Simak juga dialog iamjiner yang beliau tulis dalam kitab Raudhotul Muhibbin: "Kata hati kepada mata, "Kaulah yang telah menyeretku pada kebinasaan dan mengakibatkan penyesalan karena aku mengikutimu beberapa saaat saja. Kau lemparkan kerlingan mata ke taman dari kebun yang tak sehat. Kau salahi firman Allah. "Hendaklah mereka menahan pandangannnya " Kau salahi sabda Rasulullah saw , "Memandang wanita adalah panah beracun dari berbagai macam panah iblis. Barangsiapa meninggalkannya karena takut pada Allah maka Allah akan memberi balasan iman padanya, yang akan didapati kelezatan dalam hatinya." ( HR. Ahmad).
Tapi mata berkata kepada hati, "Kau dzalimi aku sejak awal hingga akhir. Kau kukuhkan dosaku lahir dan batin. Padahal aku hanyalah utusanmu yang selalu taat mengikuti jalan yang engkau tunjukkan. Rasulullah bersabda , "Sesungguhnya dalam tubuh itu ada segumpal darah. Jika ia baik, maka seluruh tubuh akan baik pula. Dan jika ia rusak, rusak pula seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal darah itu adalah hati" ( HR. Bukhari dan Muslim).
Simaklah perkataan Ibnul Qayyim yang lain :"Hati adalah raja. Dan seluruh tubuh adalah pasukannya. Jika rajanya baik maka baik pula pasukannya. Jika rajanya buruk, buruk pula pasukannya. Wahai hati, jika engkau dianugrahi pandangan, tentu engkau tahu bahwa rusaknya pengikutmu adalah karena kerusakakn dirimu, dan kebaikan mereka adalah kebaikanmu. Sumber bencana yang menimpamu adalah karena engkau tidak memiliki cinta pada Allah, tidak suka dzikir kepadaNYA, tidak menyukai firman, asma dan sifat-sifatNYA. Allah berfirman, "Sesungguhnya bukan mata itu yang buta, tetapi yang buta adalah hati yang ada di dalam dada". ( QS. Al-Hajj:46).
Banyak sekali kenikmatan yang menjadi buah memelihara mata. Cabo perhatikan tingkat – tingkat manfaat yang diuraikan olelh Imam Ibnul Qayyim dalam Aljawabul Kafi Liman Saala Anid Dawa'i Syafi. "Memelihara pandangan mata, menjamin kebahagiaan seorang hamba di dunai dan akhirat. Memelihara pandangan, memberi nuansa kedekatan seorang hamba kepada Allah, nenahan pandangan juga bisa mengungatkan hati dan membuat seseorang lebih merasa bahagia, menahan pandangan juga akan menghalangi pintu masuk syaitan ke dalam hati.
Mengosongkan hati untuk berfikir pada sesuatu yang bermanfaat, Allah akan meliputinya dengan cahaya. Itu sebabnya, setelah firmanNYA tentang perintah untuk mengendalikan pandangan mata dari yang haram, Allah segera menyambungnya dengan ayat tentang "nur",
Perilaku mata dan hati adalah sikap tersembunyi yang sulit diketahui oleh orang lain. Kedipan mata apalagi kecendrungan hati, merupakan rahasia diri yang tak diketahui oleh siapapun, kecuali Allah SWT, "Dia (Allah) mengetahui (pandangan) mata yang khianat dan apa yang disembunyikan oleh hati" ( QS. Al Mukmin: 19) itu artinya, memelihara pandangan mata yang akan menuntunh suasana hati, sangat tergantung dengan tingkat keimanan dan kesadaran penuh akan ' Ilmullah (pengetahuan Allah). Pemeliharaan mata dan hati, sangat identik dengan tingkat keimanan seseorang.
Dalam sebuah hadits dikisahkan, pada kiamat ada sekelompok orang membawa hasanat (kebaikan) yang sangat banyak. Bahkan Rasul menyebutnya, kebaikan orang itu bak sebuah gunung. Tapi ternyata, Allah SWT tak memandang apa-apa terhadap prestasi kebaikan itu. Allah menjadikan kebaikan itu tak berbobot, seperti debu yang bertebangan. Tak ada artinya. Rasul mengatakan, bahwa kondisi seperti itu karena mereka adalah sekelompok manusia yang melakukan kebaikan ketika berada bersama orang lain. Tapi tatkala dalam keadaan sendiridan tak ada manusia lain yang melihatnya, ia melanggar larangan-larangan Allah. ( HR. Ibnu Majjah).
Kesendirian, kesepian, kala tak ada orang yang melihat perbuatan salah, adalah tujuan ujian yang akan membuktikan kualitas iman. Di sinilah peran mengendalikan mata dan kecondongan hati termasuk dalam situasi kesendirian, karena ia menjadi bagian dari suasana yang tak diketahui oleh orang lain, "Hendaklah engkau menyembah Allah seolah-olah engkau tidak melihatNYA yakinlah bahwa Ia melihatmu". Begitu pesan Rasulullah SAW (M. Nursani)

Read More...

Rabu, 06 Agustus 2008

Allah Kenalkan Aku dengan Diriku


Di antara ciri-ciri kebahagiaan dan kemenangan seorang hamba adalah: Bila ilmu pengetahuannya bertambah, bertambah pula kerendahan hati dan kasih sayangnya. Setiap bertambah amal-amal shalih yang dilakukannya, bertambah pula rasa takut dan kehati-hatiannya dalam menjalankan perintah Allah. Semakin bertambah usianya, semakin berkuranglah ambisi-ambisi keduniaannya. Ketika bertambah hartanya, bertambah pula kedermawanan dan pemberiannya pada sesama. Jika bertambah tinggi kemampuan dan kedudukannya, bertambahlah kedekatannya pada manusia dan semakin rendah hati pada mereka.



Sebaliknya, ciri-ciri kecelakaan seseorang adalah: Jika bertambah ilmu pengetahuannya, bertambah kesombongannya. Setiap bertambah amalnya, bertambah kebanggaannya pada diri sendiri dan penghinaannya pada orang lain. Bila semakin bertambah kemampuan dan kedudukannya semakin bertambah pula kesombongannya. (Ibnul Qayyim, Al Fawaid)
Saudaraku,
Suasana apa yang terekam dalam jiwa kita saat membaca kalimat-kalimat di atas? Bilakah kita berada dalam daftar orang-orang yang berbahagia dan menang? Atau, celaka? Semoga Allah SWT membimbing hati dan langkah kita untuk tetap memiliki karakter orang-orang yang berbahagia dan menang. Semoga Allah menjauhkan hati dan langkah kita dari karakter orang-orang yang terpedaya oleh ilmu, amal dan kemampuannya. Amiin.
Saudaraku,
Di antara manfaat lain yang bisa kita petik dari petuah Ibnul Qayyim itu adalah, kedalaman ilmunya tentang lintasan dan perasaan-perasaan jiwa. Ibnul Qayyim yang banyak berguru pada Imam Ibnu Taimiyyah itu, berhasil mengenali karakter jiwa kemanusiaannya, sampai ia pun kemudian banyak mengeluarkan nasihat-nasihat yang maknanya sangat dalam dan menyentuh tentang jiwa.

Saudaraku,
Mengenali diri memang penting. “Man arafa nafsahu, arofa Rabbahu,” orang yang mengenal dirinya, akan mengenal Tuhannya. Begitu kata Ali radhiallahu anhu. Rasulullah saw juda mengajarkan kita untuk lebih banyak bercermin dan mengevaluasi diri sendiri, ketimbang bercermin dan mengevaluasi orang lain. Orang yang sibuk oleh aib dan kekurangannya, kata Rasulullah lebih beruntung, ketimbang orang yang sibuk dengan kekurangan orang lain.

Dan memang, manfaat menjalani nasihat Rasulullah ini adalah seperti dikatakan oleh Ibnul Qayyim, “Barangsiapa yang mengenal dirinya, ia akan sibuk untuk memperbaiki diri daripada sibuk mencari-cari aib dan kesalahan orang lain.”

Saudaraku,genggam erat-erat tali keimanan kita, Kenalilah diri. Pahami kebiasaannya. Rasakan setiap getarannya. Lalu berhati-hati dan kontrollah kemauan dan kecenderungannya. Waspadai kekurangannya dan manfaatkan kelebihannya. Berdoalah pada Allah agar Ia menyingkapkan ilmu-Nya tentang diri kita. Sebagaimana senandung do’a yang dilantunkan Yusuf bin Asbath, murid Sofyan Ats Tsauri, “Allahumma arrifnii nafsii….” Ya Allah kenalkanlah aku dengan diriku sendiri....(M.Nursani)

Read More...

Selasa, 05 Agustus 2008

Agar Kuncupnya Mekar Jadi Bunga


Pekerjaan Orang Kuat

Cinta adalah kata yang mewakili seperangkat kepribadian yang utuh: gagasan, emosi, dan tindakan. Gagasannya adalah tentang bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, dan berbahagia karenanya. Ia juga emosi yang penuh kehangatan dan gelora karena seluruh isinya adalah semata-mata keinginan baik. Tapi ia harus mengejawantah dalam tindakan nyata. Sebab gagasan dan emosi tidak merubah apa pun dalam kehidupan kita kecuali setelah ia menjelma jadi aksi.



Orang-orang seringkali hanya mengambil bagian tengah dari cinta: emosi. Dalam kehidupan mereka cinta adalah gumpalan perasaan yang romantis dan penuh keindahan. Mereka bahkan mungkin bisa memutuskan untuk mempertahankan suatu penderitaan seringkali karena mereka menikmati romantikanya: hidup di gubuk derita, makan sepiring berdua. Mereka melankolik. Karenanya kehidupan mereka tidak berkembang.

Cinta dalam pengertian yang luas inilah yang menjamin bahwa suatu hubungan dapat dipertahankan dalam jangka panjang. Tidak ada hubungan yang dapat dipertahankan —dalam jangka panjang— jika kita tidak mempunyai suatu gagasan tentang bagaimana membuatnya menjadi lebih baik dari waktu ke waktu. Kebosanan dalam hubungan suami istri, misalnya, sering terjadi karena keduanya secara personal sama-sama tidak berkembang. Mereka sama-sama mengalami “penyusutan” kualitas kepribadian bersama perjalanan umur. Karenanya mereka sama-sama membosankan.

Jadi cinta adalah sebuah totalitas. Di sana gagasan, emosi dan tindakan bergabung jadi satu kesatuan yang utuh dan bekerja secara bersama-sama bagi kebahagiaan dan kebaikan orang-orang yang kita cintai. Orang-orang dengan kepribadian yang lemah dan lembek tidak dapat mencintai dengan kuat. Para pencinta sejati selalu datang dari orang-orang dengan kepribadian yang kuat dan tangguh.

Mencintai —dengan begitu— adalah pekerjaan yang membutuhkan kemampuan kepribadian. Maka para pencinta sejati selalu mengembangkan kepribadian mereka secara terus menerus. Sebab hanya dengan begitu mereka dapat mengembangkan kemampuan mereka mencintai. Cinta dan kepribadian adalah dua kata yang tumbuh bersama dan sejajar. Makin kuat kepribadian kita makin mampu kita mencintai dengan kuat. Mengandalkan perasaan saja dalam mencintai hanya akan melahirkan para pembual yang menguasai hanya satu keterampilan: menebar janji.Mereka yang ingin menjadi pencinta sejati harus terlebih dahulu membenahi dan mengembangkan kepribadiannya. Menggagas bagaimana membuat orang yang kita cintai tumbuh dan berkembang menjadi lebih baik, mempertahankan “keinginan baik” kepada orang yang kita cintai secara konstan, dan terus menerus melakukan pekerjaan-pekerjaan untuk membahagiakan mereka, hanya mempunyai satu makna: itu pekerjaan orang kuat. Cinta adalah pekerjaan orang kuat. Kalau Rasulullah saw dapat menampung sembilan orang istri dalam jiwanya, itu karena ia dapat menampung sembilan kepribadian dalam kepribadiannya.

Cinta itu bunga; bunga yang tumbuh mekar dalam taman hati kita. Taman itu adalah kebenaran.
Apa yang dengan kuat menumbuhkan, mengembangkan dan memekarkan bunga; Air dan matahari adalah kebaikan. Air memberinya kesejukan dan ketenangan, tapi matahari memberinya gelora kehidupan. Cinta,dengan begitu, merupakan dinamika yang bergulir secara sadar diatas latar wadah perasaan kita.

Maka begitulah seharusnya Umar mencintai; menyejukkan, menenangkan, namun jua menggelorakan. Dan semua makna itu terangkum dalam kata ini; menghidupkan....

Umar mungkin akan dekat dengan peristiwa ini; bagaimana calon istri Umar nanti melahirkan seorang bayi, lalu merawatnya, menumbuhkannya, mengembangkannya, menjaganya. Ia dengan tulus berusaha memberinya kehidupan.

Bila Umar ingin mencintai dengan kuat, maka Umar harus mampu memperhatikan dengan baik, menerima apa adanya dengan tulus, lalu berusaha mengembangkannya semaksimal mungkin, kemudian merawat dan menjaganya dengan sabar. Itulah rangkaian kerja besar para pencinta; pengenalan, penerimaan, pengembangan dan perawatan.

Apakah Umar telah mengenal sang calon istri dengan seksama? Apakah Umar udah mengetahui dengan baik titik kekuatan dan kelemahannya? Apakah kecenderungan-kacenderungannya ? Apakah Umar mengenal pola-pola ungkapannya; melalui pemaknaan khusus dalam penggunaan kata, melalui gerak motorik refleksnya, melalui isyarat rona wajahnya, melalui tatapannya, melalui sudut matanya?

Apakah Umar dapat merasakan getaran jiwanya, saat ia suka dan saat ia benci, saat ia takut dan begitu membutuhkan perlindungan? Apakah Umar dapat melihat gelombang mimpi-mimpinya, harapan-harapannya? Pengenalan yang baik harus disertai dengan penerimaan yang utuh. Umar harus mampu menerimanya apa adanya. Apa yang sering menghambat dalam proses penerimaan total itu adalah pengenalan yang tidak utuh atau obsesi yang berlebihan terhadap fisik.

Umar tidak akan pernah dapat mencintai seseorang secara kuat dan dalam kecuali jika Umar dapat menerimanya apa adanya. Dan ini tidak selalu berarti bahwa Umar menyukai kekurangan dan kelemahannya. Ini lebih berarti bahwa kelemahan dan kekurangan itu bukan kondisi akhir kepribadiannya, dan selalu ada peluang untuk berubah dan berkembang. Dengan perasaan itulah seorang ibu melihat bayinya.

Apakah yang ia harap dari bayi kecil itu? Ketika ia merawatnya, menjaganya dan menumbuhkannya, apakah ia yakin bahwa kelak anak itu membalas kebaikan-kebaikannya? Tidak.

Semua yang ada dalam jiwanya adalah keyakinan bahwa bayi ini punya peluang untuk berubah dan berkembang, dan karenanya ia menyimpan harapan besar dalam hatinya bahwa kelak hari-hari juga lah yang akan menjadikan segalanya lebih baik.

Penerimaan positif itulah yang mengantar kita kepada kerja mencintai selanjutnya; pengembangan. Pada mulanya seorang wanita itu adalah kuncup yang tertutup. Ketika ia memasuki rumah Umar, memasuki wilayah kekuasaan Umar, menjadi istri Umar, menjadi ibu
anak-anak Umar; UMARLAH YANG BERTUGAS MEMBUKA KELOPAK KUNCUP ITU, MENIUPNYA PERLAHAN, AGAR IA MEKAR JADI BUNGA.

Umarlah yang harus menyirami bunga itu dengan air kebapakkan, membuka semua pintu hati anda baginya, gar ia dapat menikmati cahaya matahari yang akan memberinya gelora kehidupan. Hanya dengan kebaikanlah bungu-bunga cinta bersemi, dengan ungkapan AKU CINTA KAMU boleh jadi akan kehilangan makna katika ia dikelilingi perlakuan yang tidak simpatik dan tidak mengembangkan.

Apa yang harus Umar berikan kepada calon istri Umar adalah peluang untuk berkembang.... keberanian menyaksikan perkembangannya tanpa harus merasa bahwa superioritas Umar terganggu. Ini tidak berarti Umar harus memberi semua yang ia senangi, tapi berikanlah apa yang ia butuhkan.

Tetapi setiap perkembangan harus tetap berjalan dalam keseimbangan, dan inilah fungsi perawatan dari rasa cinta. Tidak boleh ada perkembangan yang mengganggu posisi dan komunikasi. Itulah sebabnya terkadang Umar perlu memotong sejumlah ranting yang sudah kepanjangan agar tetap selalu terlihat serasi dan harmoni.

Hidup ini adalah simponi yang kita mainkan dengan indah, maka duduklah sejenak bersama istri Umar nanti, tatap matanya lamat-lamat, dengarkan suara batinnya, getaran nuraninya, dan diam-diam bertanyalah pada diri sendiri APAKAH IA TELAH MENJADI LEBIH BAIK SEJAK HIDUP BERSAMA UMAR ?! mungkinkan suatu saat ia akan mengucapkan puisi Iqbal tentang gurunya :
DAN... NAFAS CINTANYA..... MENIUP KUNCUPKU..... MAKA ... IA MEKAR JADI BUNGA.
dari Anis Mata

Read More...

Senin, 04 Agustus 2008

Misi Kemanusiaan Agung Itu Bernama Pernikahan



Iffah, salah seorang teman baik saya, menitikkan air mata ketika Menyimak petuah-petuah Ilahi yang dikhutbahkan seorang ustadz. Hari itu ia tengah menghadapi detik-detik bersejarah: ia segera disunting seorang pria pilihannya.



"Jadi misi besar pernikahan itu hakikatnya secara garis besar ada dua. Pertama, memperbanyak keturunan atau regenerasi agar manusia secara besama-sama mampu mengelola bumi sebagai
nikmat besar yang diwariskan Allah SWT kepada manusia. Yang kedua, misi pemeliharaan bumi dari tangan-tangan kotor para kaum pendosa yang akan merusak warisan-Nya tersebut," petuah sang Ustadz sembari ia mengutip surat Annisa ayat satu.

Karena itu, lanjut sang Ustadz, regenerasi yang diinginkan Al Quran, bukanlah sekadar berorientasi pada kuantitas. Tapi juga kualitas, yakni lahirnya generasi-generasi taqwa. "Sebab, upaya-upaya manusia mengeksploitasi bumi tidaklah akan memberikan kemanfaatan bagi sesama
makhluk Allah, kecuali tugas itu diserahkan orang-orang beriman, yakni para generasi yang sholeh," serunya.

Boleh jadi sedikit sekali yang mau menyelami hakikat misi agung yang ada di balik pernikahan. Misi mengelola dan memelihara bumi sekaligus yang dipikulkan di atas pundak manusia, sebagaimana yang dikhutbahkan sang Ustadz di atas, ternyata berkaitan erat dengan misi pernikahan.

Dalam pandangan masyarakat modern, pernikahan mungkin dipandang tak lebih sebuah seremonial formal yang menandai berakhirnya masa lajang seseorang. Atau lebih dari itu, pernikahan dianggap sebagai institusi di mana dua insan berlainan jenis dinyatakan sah hidup bersama di dalamnya. Bercumbu, memadu kasih, mengumpulkan harta, dan melakukan aktivitas apa saja, sembari menyiapkan masa depan bagi anak-anak dan keturunan mereka. Sahkah asumsi itu? Tentu, sah-sah saja bila ada yang berpandangan demikian.

Cetusan syahwat (nafsu) itu memang diakui oleh Al Qur'anul Karim. "Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada apa-apa yang diingini yaitu; wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia. Dan di sisi Allah lah tempat kembali yang baik (syurga)." (QS 3 : 14).

Betul, siapa yang bisa menafikan betapa indahnya pernikahan? Mendapat suami atau istri yang ganteng/cantik, pintar, serta berharta? Tentu ini menjadi dambaan setiap manusia. Apalagi bila sebuah keluarga dikarunia Allah keturunan yang ganteng/cantik serta mampu jadi orang terpandang pada masa dewasanya. Pasti akan jadi kebanggaan setiap orang tua.

Tapi jika hanya sebatas itu pemahaman kita tentang misi pernikahan, tentu tak sempurna. Sebab dikhawatirkan institusi keluarga hanya berorientasi pada pemberdayaan anggota keluarga sendiri tanpa peduli pada keadaan sosial masyarakat sekelilingnya.Antara satu keluarga dengan
keluarga yang lain tak memiliki aksi dan misi bersama. Sebaliknya, mereka hidup nafsi-nafsi bahkan saling adu gengsi untuk bisa mempertontonkan apa-apa yang bisa dibanggakan. Entah dari harta yang dimiliki, atau keturunan.

Inilah kehidupan egoistik dan individualistik yang sangat mungkin lahir dari paradigma pernikahan yang tak sempurna. Hubungan antar anggota masyarakat pun boleh jadi hanya basa-basi. Lewat klub-klub olahraga, klub makan-siang, klub fitness, klub fans artis idola, arisan, dan lain sebagainya yang kering dari misi sosial. Kehangatan dan keakraban yang tulus pun tak tumbuh. Lantaran semua interaksi itu tidak didasari visi dan misi untuk kebaikan bersama. Tapi tak lebih sekadar adu gengsi: pamer harta, pangkat, kekuasaan dan jabatan.

Mungkin keadaan demikian yang disinyalir Al Quran Suci, bahwa kelak manusia akan berlomba-lomba saling adu gengsi. "Bermegah-megahan telah melalaikan kamu. Sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui (akibat) perbuatanmu itu. Dan janganlah begitu. Kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu. Jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka jahannam. Dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan 'ainul yaqin. Dan kemudian kamu pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu bermegah-megahan dengannya
ketika di dunia)" (QS 102 : 1-8).

Al Quran tak menafikan, pernikahan adalah institusi robbani yang memang disediakan bagi dua insan berlainan jenis untuk menyalurkan hasrat cinta dan kasih sayang antar sesama. Agar rumah tangga yang dibentuk itu menjadi terminal yang aman dan nyaman serta memberi ketenangan
lahir-batin bagi seluruh anggota keluarga (QS 30:21). Tapi bukan semata-mata itu tujuan pernikahan. Itu adalah misi antara.

Lebih dari itu, sebuah keluarga yang akan dibangun haruslah dicita-citakan untuk tujuan yang lebih makro. Sebagai pabrik yang akan memproduk generasi saleh. Agar mereka menjadi pengelola dan sekaligus penjaga warisan Allah, yakni bumi yang amat luar biasa kandungan kekayaannya. Itulah misi pertama dan utama bangunan pernikahan. Tak pelak bila Allah menyebut pernikahan sebagai perjanjian agung (miitsaqon goliidzho) sebagaimana termaktub di dalam KitabNya surat Annisa ayat 21.

Sehingga pernikahan haruslah merupakan jembatan pertama bagi para anggota keluarga mengenali lingkungan sosialnya. Lalu berinteraksi dengan masyarakat lingkungannya, untuk selanjutnya bekerjasama dalam kebaikan. Antar keluarga di dalam sebuah masyarakat, seyogyanya memiliki misi yang sama untuk mencapai kebaikan bersama. Karena itu, keluarga satu dengan lainnya di mana pun mereka berdominisili, haruslah memiliki link-link yang kokoh dalam kerangka menata kehidupan sosial masyarakat lingkungannya.

Sebagai konsekuensi dari adanya kepentingan yang sama untuk mencapai kemashlatan bersama itu, maka setiap penyimpangan yang dilakukan oleh anggota keluarga siapapun, semua keluarga ikut bertanggungjawab mencarikan solusinya. Agar keseimbangan dan keharmonisan kehidupan
social dapat terus dipelihara dan dipertahankan. Bila kesadaran bersama ini tumbuh kokoh, sangat kecil kemungkinan timbul disharmoni hubungan masyarakat.

Wajar bila Islam memandang, bahwa keluarga adalah ibu peradaban. Darinyalah lahir masyarakat, budaya, dan peradaban. Bagaimana wajah sosial, budaya, dan peradaban sebuah komunitas atau bangsa, sesungguhnya merupakan cerminan pemahaman masyarakat itu tentang keluarga.

Betapa sentral dan mendasarnya peran sebuah keluarga, menjadi alasan kenapa Islam mengarahkan setiap pemeluknya berhati-hati dalam mencari pasangan. Diharamkan seorang mukmin atau mukminat menikah dengan atau dinikahi orang-orang musyrik. Karena pernikahan bukan sekadar pertemuan dua jasad, dua hati, dan dua pemikiran. Tapi pernikahan hakikatnya,
peristiwa berlangsungnya koalisi dua kekuatan iman untuk mencapai cita-cita agung.

Karena itu Rasul mulia berpesan, "Wanita itu dinikahi atas 4 hal. Karena hartanya, karena kecantikannya, karena keturunannya, dan karena diennya. Maka ambillah wanita yang baik diennya. Pasti engkau akan beruntung."

Tak berlebihan jika Fathi Yakan menyatakan dalam salah satu bukunya, "Jika kehidupan suatu masyarakat carut-marut, pastilah sumber permasalahannya adalah keluarga."

Boleh jadi kenapa Iffah kawan saya menitikkan air mata. Mungkin ia baru menyadari bahwa pernikahan bukanlah sekadar hiasan kosmetik kehidupan. Namun betapa agungnya misi yang diembannya. Walau itu tentunya berat. Tapi sekali lagi, jangan takut menikah bagi mereka yang belum menikah.

Read More...