Kamis, 27 November 2008

Kelezatan Tak Ada Bandingnya


Semoga kita tak pernah putus berdoa agar rahmnat Allah menaungi kebersamaan kita.
Saudaraku...
Manusia, tetap manusia. Bukan malaikat. Rasulullah SAW., sebagai hamba Allah teladan, juga manusia. Ia tetap memiliki tabiat kemanuisaan. Karena, andai sosok teladan untuk manusia itu bukan manusia, sudah tentu tak ada manusia yang bisa mengikutinya. Dan artinya ia tak mungkin dijadikan teladan.
Karena itulah Rasulullah mengucapkan doa: “Ya Allah, sesungguhnya aku adalah manusia. Aku marah sebgaimana manusia marah. Maka siapa saja dari kaum muslimin yang merasa telah aku sakiti, aku caci, aku laknat dan aku cambuk, jadikanlah hal itu sebagai doa dan pembersih yang akan mendekatkannya kepada-Mu pada hari kiamat.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Meski tetap dengan kemanusiaannya, Rasul tetap memiliki predikat Al-Ma’shum --yang terpelihara dari dosa-- karena keimanannya yang tinggi dan Allah SWT., merahmatinya dengan selalu meluruskannya dari kesalahan. Iman sajalah yang membuat Rasulullah memiliki kemauan baja, cita-cita tinggi dan mampu terhindar dari bisikan syetan melalui hawa nafsu.
Saudaraku, ketahuilah...
Syetan adalah pemangsa orang yang lemah semangat, tidak percaya diri, pesimistik, dan tidak kuat kemauannya. Orang-orang seperti itu mudah terjebak dengan bisikan syetan. Menurut Ibnul Qayyim rahimahullah, “Jika syetan melihat orang memiliki kemauan yang lemah, cita-cita yang rendah, condong mengikuti hawa nafsu, maka syetan sangat menginginkannya, membantingnya dan mengekangnya dengan kekangan hawa nafsu dan kemudian mengendalikannya kearah mana yang ia kehendaki.
Tapi, jangan juga menganggap kita menaklukkan hawa nafsu karena kita merasa memiliki semangat tinggi, optimistik, sangat percaya diri, serta kuat kemauan. Karena sebenarnya perasaan seperti itu akan membuka celah syetan untuk menyelinap lalu menguasai hati. Ibnul Qayyim mengistilahkan hal seperti ini dengan “perampasan dan pencurian” syetan. “Jika syetan meraa orang itu memiliki kemauan yang teguh, jiwa yang mulia dan cita-cita yang tinggi, maka ia tidak menginginkan orang tersebut kecuali dengan jalan perampasan dan pencurian,” begitu urai Ibnul Qayyim al-Jauziyah.
Coba perhatikan perkataan Ali radiyallahu ’anhu. Menurutnya, ada empat momen kebaikan tertentu, yang paling berat dilakukan. Yakni, memaafkan ketika marah, berderma ketika pailit, menjaga diri dari dosa (iffah) ketika sendirian, dan menyampaikan kebenaran pada orang yang ditakuti atau diharapkan.”
Saudaraku...
Renungkanlah momen-momen seperti itu sebenarnya yang sering menjadi celah rawan perampasan dan pencurian syetan. Sulit sekali memberi maaf ketika justru amarah seseorang meletup dan dalam kondisi mampu melampiaskannya... Sangat sulit sekali memberi, apapun, yang kita sendiri membutuhkannya... Sangat sulit sekali memelihara diri dari dosa, bila kesempatan untuk melakukannya berulangkali terbuka lebar didepan mata kita. Apalagi, kita tahu tak ada orang lain yang melihat tingkah kita saat itu... Seberapa mampu kita menyampaikan kebenaran kepada orang yang kita takuti? Saudaraku, pada momen-momen seperti itulah kita manusia seringkali tergelincir.
Ada satu kata yang sangat sederhana untuk mengatasinya. Keikhlasan, itulah kuncinya. Keikhlasan membawa seseorang mudah untuk memaafkan dikala marah. Ikhlas juga yang menjadikan seseorang ringan memberi meski ia membutuhkan. Ikhlas, yang membuat seseorang tak memandang situasi dalam beramal dan menjauhi maksiat, meski tak seorang pun melihat. Keikhlasan juga yang membuat orang tak memandang resiko apapun dalam menyampaikan kebenaran.
Berkat ikhlas, Rasulullah SAW tercatat berhasil melewati momen-momen yang dianggap paling sulit tersebut. Rasul adalah sosok yang paling mudah memberi maaf, paling banyak memberi laksana angin, paling terpelihara dari penyimpangan, paling berani menyampaikan kebenaran kepada siapa pun. Benarlah ucapan Ibnul Jauzi rahimahullah, “Barangsiapa yang telah mengintip pahala (yang dituai karena keikhlasan) , niscaya jadi ringanlah tugas yang berat itu.” (Ar-Raqa-iq, Muhammad Ahmad Rasyid)
Saudaraku...
Lihatlah wujud ketulusan dari keikhlasan lain yang dimiliki Ibnu Abas. “Bila aku mendengar cerita tentang hujan yang turun disuatu daerah, maka aku akan gembira, meskipun aku didaerah itu tidak mempunyai binatang ternak atau padang rumput. Bila aku membaca suatu ayat dari Kitabullah, maka aku ingin kaum Muslimin semua memahami ayat itu seperti aku ketahui seperti apa yang aku ketahui.” Orang seperti Ibnu Abbas tak pernah memikirkan apa yang ia peroleh dari kebaikan yang ia lakukan. Ia cukup merasa bahagia, hanya dengan mendengar informasi informasi yang mungkin tidak terkait langsung dengan kepentingannya. Lebih dalam lagi keikhlasan yang dikatakan oleh Imam Syafi’i, “Aku ingin kalau ilmu ini tersebar tanpa diketahui penyebarnya....”
Karena itulah Saudaraku...
Da’i dan mujahid Islam terkenal, Imam Hasan Al-Bana mengatakan, “Ikhlas itu kunci keberhasilan.” Menurut Al-Bana, para salafushalih yang mulia, tidak menang kecuali karena kekuatan iman, kebersihan hati dan keikhlasan mereka. “Bila kalian sudah memiliki tiga karakter tersebut, maka ketika engkau berpikir maka Allah akan mengilhamimu dengan petunjuk dan bimbingan. Jika engkau beramal, maka Allah akan mendukungmu dengan kemampuan dan keberhasilan...” Al-Bana begitu serius memandang masalah ini, sehingga setelah kalimat tadi ia mengatakan, “.. Tapi bila ada diantara kalian yang hatinya sakit, cita-citanya lumpuh, diselimuti oleh sikap egois (tanda tidak ikhlas), masa lalunyapun penuh masalah, maka keluarkan ia dari barisanmu! Karena orang seperti itulah yang akan menghalangi rahmat dan taufiq Allah.” (A-awa’iq yang Muhammad Ahmad Rasyid)
Hasan al-Bana tidak berlebihan. Karena orang yang tidak ikhlas umumnya tidak selamat dalam perjalanan, “Hanya orang yang tidak ikhlas yang akan tergelincir.” (Shaidul Khatir, 355)
Saudaraku...
Dengan keikhlasan, kita jadi tak mudah diperdaya oleh nafsu. Dan itulah nikmat yang hanya dirasakan para mukhlisin. Seperti yang tertuang dalam nasihat Ibnul Qayyim rahimahullah, bahwa mengutamakan kelezatan iffah (menjaga diri dari perbuatan durhaka), lebih lezat daripada kelezatan maksiat. Dalam kesempatan lain ia mengatakan, “Rasa sakit yang ditimbulkan oleh mengikuti hawa nafsu lebih dahsyat daripada kelezatan yang dirasakan seorang karena mempertaruhkan hawa nafsu.”
Sampai akhirnya... kita benar-benar meresapi perkataan salafushalih yang dikutip Syekh Muhammad Rasyid dalam Al-Awa’iq, “Berusaha sekuat tenaga menekan hawa nafsu itu adalah kelezatan. Kelezatan diatas kelezatan.”[M. Nursani]

Read More...