Rabu, 11 Maret 2009

Tak Cukup Hanya Menangis


Saudaraku,
Kehilangan memang menyakitkan. Apapun yang terlepas, baik dalam konteks pribadi atau yang lebih luas, tentu terasa menyedihkan. Karena apa yang kita miliki lekat sebagai bagian dari hidup kita. Bahkan ketergantungan terhadapnya mungkin telah tercipta. Ketika itu dicabut atau hilang, kita merasa hilanglah sebagian dari diri kita. Maka sangatlah wajar kalau kemudian ada tangis, minimal kesedihan yang menggumpal di dada. Mungkin tangis ini bisa meringankan sebagian beban hati. Boleh jadi air mata pun bisa membasahi panas hati yang terasa tak menentu. Namun tangis saja tidaklah cukup. Mesti ada tindakan lain yang kita lakukan ketika didera musibah kehilangan.


1. Ingat Kembali Sebab Kehilangan Kita
Kita bisa kehilangan suatu benda. Kita pun bisa kehilangan akhlak dan ketaatan pada Allah yang dulu pernah kita miliki. Kita bisa kehilangan generasi. Mungkin banyak manusia berkualitas yang telah pergi mendahului, hingga kita merindukan mereka. Atau kita merasa kehilangan teman sejati, karena meski banyak teman di sekeliling, namun tak satupun yang sejalan dengan hati kita.
Masyarakat juga bisa kehilangan tokoh kharismatik yang dulu pernah mereka punyai. Negara mungkin kehilangan wilayahnya, juga kehilangan pejabat-pejabatnya yang jujur. Rakyat pun boleh jadi kehilangan rasa aman dan kedamaian. Semakin hari makin panjang daftar kehilangan ini. Maka kita perlu waktu sejenak untuk mengais masa lalu. Untuk mengetahui sebab-sebab kehilangan. Untuk melihat kembali apakah kehilangan itu karena kecerobohan, atau kelalaian kita mendidik generasi, hingga kita kehilangan pemimpin yang bisa diandalkan. Mungkin juga karena terlalu kuatnya sisi eksternal yang membuat kita “tidak berdaya”. Terlalu banyak yang merusak daripada yang membangun. Padahal seribu orang yang membangun dengan susah payah bisa dihancurkan oleh satu orang saja. Apalagi kalau yang membangun hanya kita sendirian sementara yang merusak berjumlah seribu.
Kehilangan. Kehilangan kebiasaan membaca al qur’an. Kelihalangan kalau mata ini sulit menangis ketika membaca Al-Qur’an karena banyak tertawa, maka kurangilah tertawa. Kalau anak-anak terlalaikan karena terlalu banyak mendengarkan kidung cinta yang tertuju bukan pada Rabbnya, maka jauhkanlah kidung itu dari mereka.
Ahmad bin Khidir menikahi Umu Ali. Setelah pernikahan, Ahmad Khidir beserta istri datang kepada Abu Yazid Al-Bustomi. Sang istri memalingkan wajahnya. Ahmad bertanya, “Mengapa kamu memalingkan wajahmu?" Istrinya menjawab, “Karena setiap aku memandang wajah Abu Yazid, hilanglah semangat jiwaku. Dan setiap aku memandangmu semangat jiwaku bangkit." Setelah itu mereka berdua keluar. Ahmad berkata kepada Abu Yazid, “Nasehati aku.” Dengan singkat Abu Yazid menjawab, “Belajarlah dari istrimu."
Ya, pesan singkat bermakna padat. Umu Ali mengetahui sebab kehilangan sesuatu dalam jiwanya. Maka dia pun menghindarinya. Pantas saja Abu Yazid hanya berpesan pendek, “Belajarlah dari istrimu.”
2. Bangkitkan Kenangan, Dimana Dulu Kita Mendapatkannya
Ini hanyalah bagian dari cara untuk membangkitkan kebaikan yang dulu ternyata pernah bisa kita lakukan. Boleh jadi dulu kita pernah sering kali berpuasa atau sholat sunah. Namun kini kita tidak lagi melakukannya. Dan kita pun kehilangan kenyamanan hati seperti yang dirasakan ketika mengamalkan ibadah sunah.
Maka mungkin kita perlu mencoba untuk napak tilas. Kita cari dan kita munculkan lagi tempat dan suasana yang membawa pada keinginan beribadah. Kita munculkan alasan dan pendorong yang dulu bersemayam di hati. Hingga kita bergairah untuk kembali mendekati Allah dengan melakukan amalan sunah yang berkualitas.
Marilah kita mencoba kembali ke belakang barang sesaat, untuk membangkitkan kenangan bahwa dulu kita pernah mengukir kebaikan. Dengan harapan, kenangan ini menjadi pemicu bangkitnya naluri kita untuk kembali berbuat kebaikan, yang mungkin hampir punah.
3. Jadikan Orang di Sekeliling Kita Sebagai Pengontrol
Kehilangan bisa jadi muncul akibat kita tidak sanggup menjaganya. Kalau demikian adanya, tentu kita harus membuat kontrol-kontrol diri yang akan menjaga semua yang kita miliki. Kita bisa menjadikan orang-orang disekeliling kita menjadi kontrol bagi perjalanan kita. Untuk memantau kita.
Teman merupakan partner yang semesti-nya bisa memberikan kontrol positif, Tanpa itu persahabatan tidaklah banyak berarti. Dari mereka kita bisa mendapatkan masukan, nasehat, peringatan dan teguran. Ini semua merupakan pengawas dan penyeimbang langkah.
Umar ra. menjadikan masyarakat sekeliling-nya sebagai pengontrolnya. Sewaktu pidato perdananya sebagai khalifah, ia tanpa basa basi berani menanyakan siapa yang bersedia mengontrolnya. Detik itu pula seorang anak muda menghunus pedang, dan dengan lantang mengatakan bahwa pedangnyalah yang akan mengontrol Umar, jika mulai menjauh dari arnanah.
Selain ternan, musuh pun bisa menjadi pengontrol langkah kita. Karena musuh selalu mencari kelemahan kita. Dengan demikian sebenarnya kita secara cuma-cuma sedang menuai kritik, yang boleh jadi sebagian atau keseluruhannya ternyata bernuansa positif.
Seorang ulama salaf berkata, "Kenikmatan dan orang-orang iri selalu beriringan. Jika ada kenikmatan di sana pasti ada orang yang iri. Maka jika tidak ada orang yang iri kepada Anda berarti Anda telah kehilangan banyak kebaikan dalam hidup."
Kontrol inilah yang akan menjaga kita dari kehilangan untuk kedua kalinya. Kontrol inilah yang mengingatkan dan mencegah agar kita tidak sedih dan menangis untuk kasus kehilangan yang sama. Jadikanlah teman, lawan dan catatan sejarah sebagai cermin yang bening. Tempat kita melihat apa yang hilang dari wajah kita. Untuk mengetahui apakah seraut wajah cerah belum hilang dari kita.
4. Carilah Kembali Mutiara yang Hilang
Yang hilang mungkin kembali lagi. Yang pergi mungkin diharapkan datang lagi. Terus mencari agar ia kembali dan datang lagi adalah usaha yang tak boleh henti. Berbagai upaya harus diupayakan agar apa yang pernah hilang kembali lagi. Kerinduan pada Al-Qur’an harus dimunculkan kembali, Kenikmatan sholat malam harus diraih kembali. Kembalinya kedamaian di keluarga harus terus diupayakan jalannya. Keberkahan negeri yang pernah diraih harus dicoba untuk dikembalikan.
Tidak ada kata terlambat. Karena “mutiara” itu mungkin hanya terselip dari pandangan rnata kita. Mungkin kita hanya butuh sedikit lelah fisik dan lelah hati, kemudian “mutiara” itu akan berada di tangan kita lagi. Setelah “mutiara” itu kembali, ada rasa bahagia yang tidak terlukiskan. Bahkan kita bisa lebih bahagia dibandingkan ketika kita memegangnya pertama kali,
Apa yang hilang dari kita harus kita cari kembali. Andalus mercusuar kejayaan Islam telah hilang. Palestina kiblat pertama kita telah direnggut. Dengan rasa optimis tinggi dan usaha tak kenal lelah kita berharap "mutiara” itu jatuh ke tangan kita lagi. Meski mungkin perlu waktu yang tidak sebentar, namun langkah mesti segera dibangun.
5. Titipkan Semuanya kepada Allah
Menitipkan kepada Allah berarti menitip-kan kepada Dzat yang Maha Menjaga, Bintang gemintang dan segala benda angkasa luar yang tidak terhitung jumlahnya terjaga semuanya. Karena hanya Dialah yang Maha Menjaga. Tidak rusak dan tidak hilang apa yang dititip-kan kepada-Nya.
Sebagaimana yang dilakukan oleh Abu Hurairah ketika hendak melepas seorang teman-nya. "Kesinilah aku lepas engkau dengan cara Nabi melepas orang yang hendak pergi, ‘Aku titipkan engkau kepada Allah yang tidak akan pernah hilang apa yang dititipkan kepada-Nya.’"
Titipkan diri ini agar tidak banyak kehilangan kebaikan. Titipkan generasi ini agar tidak hilang tersesat di belantara dunia. Titipkan negara ini agar dijaga dan tetap dilimpahkan keberkahan. Titipkan hati ini agar tetap menjadi pencetus ide-ide kebaikan. Ketika kita mulai khawatir akan kehilangan sesuatu, maka segeralah berdialog dengan Allah, agar Dia menjaga kita dan menjaga apa-apa yang kita takutkan akan hilang. Bahkan ketika kita sudah kehilangan, mintalah agar Allah mengembalikan kepada kita apa yang telah pergi.
Ketika Said kehilangan barang berharga, Hasan Al-Bisri berkata, “Pergi dan ambillah wudhu kemudian sholatlah dua rakaat dan berdoalah, Wahai Dzat yang Maha Lembut, Maha Pemberi, Maha Pengasih, Maha Hidup, Maha Berdiri Sendiri, Pencipta langit dan bumi, Yang Mempunyai keagungan dan keutamaan, ampunilah aku dan kembalikan yang hilang dariku," Tak lama berselang, Said kembali kepada Hasan dengan barang berharga yang hilang sudah di tangannya kembali.
Meminta tolong dan menggantungkan harapan kepada sesama manusia, seringkali tidak mendatangkan solusi. Bahkan bisa menyesatkan. Berpindahlah pada Allah yang Maha Mengetahui ke mana perginya yang hilang dan “tempat menitip” yang paling aman, karena apa yang kita miliki tidak mungkin rusak dan hilang.
Yang telah hilang dari kita mungkin amatlah banyak. Sebelum berbuntut penyesalan berkepanjangan dan hanya menambah penderitaan, maka cepatlah bertindak yang benar ketika kita kehilangan. Wallahu’alam.

Tidak ada komentar: