Kamis, 24 Desember 2009

MUI Desak KY Periksa Hakim Perkara Ganti Kelamin



From : www.okezone.com 24/12/09

JAKARTA – Majelis Ulama Indonesia (MUI) mendesak Komisi Yudisial (KY) memeriksa hakim Pengadilan Negeri Batang, Jawa Tengah, yang telah mengabulkan permohonan Agus Widiyanto (30), mengubah jenis kelaminnya dari laki-laki menjadi wanita bernama Nadia Ilmira Arkadea.


MUI juga meminta aparat penegak hukum mendalami kasus ini, termasuk memintai keterangan pelaku operasi kelamin. “Para hakim yang memutuskan perlu ditelusuri lebih lanjut. Karenanya kami minta KY memeriksa para hakim tersebut,” kata Wakil Sekretaris Komisi Fatwa MUI Asrorun Ni’am Sholeh di Jakarta.
Lebih jauh MUI juga meminta Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dan Departemen Kesehatan (Depkes) agar menindak pihak tenaga medis dari rumah sakit dr Soetomo, Surabaya, yang melakukan operasi ganti kelamin.
Menurut Ni’am, tindakan melakukan operasi ganti kelamin yang dilakukan tenaga medis (dokter) jelas bertentangan dengan Kode Etik Kedokteran dan hukum agama. Dia yakin kode etik kedokteran yang ada saat ini tidak bertentangan dengan hukum agama, mengingat Kode Etik Kedokteran ini tunduk pada nilai-nilai moral dan hukum yang berlaku. “Harusnya dokter tahu soal kode etik ini,” katanya.
Wakil Ketua Komisi Fatwa MUI KH Ali Musthofa Ya’kup menegaskan, mengganti jenis kelamin haram hukumnya. Dalam agama Islam, jenis kelamin hanya ada dua: laki-laki dan perempuan.
“Seseorang dikatakan laki-laki atau perempuan ditentukan hanya berdasarkan jenis kelamin, bukan dilihat dari fisiknya maupun psikologi, bukan pula dari penampilan dan sebagainya,” katanya. Ganti kelamin diperbolehkan dalam Islam sepanjang untuk melakukan penyempurnaan. Misalnya ada orang yang berkelamin ganda, tapi dari dua alat kelamin tersebut yang berfungsi alat kelamin laki-laki, maka dia tetap sebagai laki-laki. “Nah, kalau orang yang seperti ini ingin menyempurnakan sifat ‘kelakilakiannya’, maka boleh dalam agama Islam. Begitu juga sebaliknya,” katanya.
Jika ada orang yang terlahir laki-laki dengan memiliki alat kelamin laki-laki kemudian ingin diganti menjadi alat kelamin perempuan, itu hukumnya haram. “Khusus kasus Agus Widiyanto (Nadia), kalau memang dia terlahir sebagai laki-laki dan alat kelamin yang berfungsi kelamin laki-laki, maka hukumnya haram bagi Nadia untuk melakukan operasi,” katanya.
Ali kemudian mengungkapkan bahwa kasus seperti ini bukan lagi kasus yang baru, mengingat pernah terjadi pada 1970-an. “Tahun 1970-an pernah ada di Jakarta. Saat ini hakim mengabulkan pergantian status kelamin dari laki-laki menjadi perempuan. Awalnya namanya Vivian Rubianto kemudian diubah menjadi Vivian Rubianti. Jadi ini bukan hal baru,” katanya.
Anggota Komisi Yudisial (KY), Zainal Arifin, saat dikonfirmasi mengenai putusan PN Batang, mempertanyakan alasan hakim mengabulkan permohonan.
Menurutnya, sudah seharusnya hakim mencantumkan pasal-pasal apa saja dan menjelaskan dasar hukum yang mengatur perkara pergantian jenis kelamin. “Kalau sekiranya pasal yang dicantumkan tidak tepat, itu namanya hakim tidak benar dan harus ditindak,” kata Zainal.
Zainal mengaku KY hingga kini belum mengetahui secara pasti kasus pergantian jenis kelamin tersebut. Walau begitu dia tetap berjanji akan segera mempelajari, untuk selanjutnya melakukan tindakan terhadap hakim yang bersangkutan. “Yang pasti kami akan pelajari dulu. Apalagi MUI sudah mengeluarkan sikap begini,” katanya.
Di pihak lain, Humas PN Batang menegaskan bahwa PN Batang berani mengabulkan permohonan Nadia berdasarkan landasan hukum. Meski tidak dikenal di KUHP, PN mengabulkan permohonan ganti kelamin berdasarkan UU Hak Asasi Manusia. Undang-undang ini bisa digunakan karena sudah disepakati masyarakat internasional. Prof Djohansjah Marzoeki, yang dikonfirmasi soal sikap MUI, menandaskan bahwa dia melakukan operasi ganti kelamin semata-mata untuk meringankan derita manusia. “Ada yang menderita karena mengalami transeksual. Jadi ada manusia yang merasa badan tidak sesuai dengan perasaannya atau sebaliknya merasa perasaannya tidak sesuai badannya,” kata ahli bedah plastik dari RSU dr Soetomo ini kemarin.
Djohansjah yang mengoperasi Nadia 2005 silam mengaku baru akan mau melakukan operasi pergantian kelamin jika pasien mengalami kondisi tersebut. Jika tidak mengalami hal itu dia akan tegas menolak. Djohansjah juga mendasari tindakannya dengan indikasi dan kontraindikasi. ”Selama diperbolehkan dan tidak dilarang, dokter boleh melakukan suatu operasi,” ujarnya.
Saat ditanya apakah hal itu tidak melawan takdir? Dengan nada tinggi Djohansjah menjawab bahwa tindakan yang dia lakukan adalah meringankan penderitaan orang lain.
”Setelah operasi dia semakin menderita atau senang. Itu moral tinggi bukan?” katanya balik bertanya. Menolong penderita transeksual bagi Djohansjah merupakan perbuatan dengan etika moral tinggi. Terkait fatwa MUI, Prof Djohansjah menyatakan tidak ada masalah. “MUI tahun berapa itu? Dulu tidak apa-apa,” jawabnya. Selain itu, kedokteran tidak ikut campur dalam urusan MUI karena tidak ada kaitannya. “MUI itu untuk umatnya. Kalau kedokteran itu berpijak pada Etika Kedokteran, Undang-Undang Kedokteran, dan sebagainya.Tidak ikut-ikut MUI,” balas Prof Johansyah.
Nadia Gelar Tasyakuran
Sehari setelah disahkan PN Batang sebagai perempuan, Nadia Ilmira Arkadea (30), langsung menggelar tasyakur kemarin. Bertempat di kediaman Handoko Wibowo, seorang pengacara, di Cepoko Tumbrep, Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Nadia menyajikan kue tar dan beberapa aneka makan ringan untuk tetangga dan koleganya.
Sepanjang acara Nadia yang mengenakan baju merah muda itu terlihat semringah. Apalagi banyak tetangga, termasuk di antaranya anak-anak, turun meramaikan tasyakuran. Dengan status baru ini Nadia merasa lebih diterima masyarakat. Saat masih menjadi waria dia merasa dipandang masyarakat sebelah mata.

Tidak ada komentar: